Suara.com - Belakangan ini sedang ramai, soal studi yang mengatakan kalau Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengguna vape terbanyak di dunia.
Merujuk pada data Statista yang berjudul "Statista Consumer Insight," sebanyak 25% orang Indonesia yang pernah menjadi responden di studi itu mengaku pernah menggunakan rokok elektrik atau vape setidaknya sekali.
Angka ini merupakan yang tertinggi dalam survei tersebut, mengalahkan responden dari Amerika dan Inggris.
Survei Statista sendiri dilakukan via online kepada sekitar 1000 hingga 9500 responden berusia 18 sampai 64 tahun di beberapa negara pada Januari-Maret 2023.
Baca Juga: Piala Asia 2023: Pelatih Irak Waspadai Perkembangan Timnas Indonesia
Presentase pengguna rokok eletrik di Indonesia sebanyak 25% dibandingkan dengan Swiss mencapai 16%, Amerika Serikat 15%, hingga Inggris sebanyak 13%.
Alasan Masyarakat Salah Persepsi Soal Vape
Merujuk pada Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengungkapkan bahwa ada kesalahan persepsi masyarakat terkait rokok elektrik atau vape. Ia menuturkan kalau sejumlah orang berpikir nikotin yang terkandung di vape lebih rendah.
Padahal rokok konvensional dan rokok elektrik sama-sama mengandung bahan adiktif yang bisa memicu peradangan inflamasi.
Keduanya mengandung nikotin dan zat karsinogen yang dapat menyebabkan kanker, meski uap rokok elektrik tak mengandung karbon monoksida.
Baca Juga: Piala Asia 2023: STY Berhasrat Ubah Karakter Permainan Timnas Indonesia Melalui Peran Striker
WHO Desak Negara Larang Vape Aneka Rasa
Sebelumnya, WHO yang mendesak pemerintah di semua negara untuk memperlakukan rokok eletrik atau vape dengan varian rasa seperti rokok tembakau. Hal itu karena penggunaan vape akan mendorong perusahaan tembakau besar untuk beralih ke rokok elektrik sebagai alternatif rokok konvensional.
Merujuk pada Reuters, WHO menegaskan kalau vape sudah dilarang di 34 negara pada Juli tahun ini. Kendati demikian banyak negara yang masih kesulitan menegakkan aturan penggunaan rokok elektrik.
Pada banyak kasus rokok eletrik ini kerap tersedia di pasar gelap. Menurut penelitian yang sudah ada, hingga kini memang belum ada bukti vape betulan bisa menjadi alternatif pengganti rokok konvensional.
Namun, vape juga bisa memicu gangguan kesehatan dan mendorong kecanduan nikotin di kalangan non-perokok, terutama pada anak-anak dan remaja.
"Anak-anak direkrut dan dijebak pada usia dini untuk menggunakan rokok elektrik dan mungkin kecanduan nikotin," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Kala itu sang dirjen juga menyinggung kalau pemasaran vape yang agresif lebih banyak digunakan oleh anak berusia 13-15 tahun dibandingkan oleh orang dewasa.