“Dari sektor pariwisata yang terkait, sepengetahuan saya kita belum ada yang diajak bicara. Jadi, ditetapkannya kan tahun 2022, saya mengecek sektor yang terkait tidak ada yang diajak bicara,” kata Haryadi.
Ia mengatakan seharusnya pemerintah melibatkan stakeholder terkait seperti Asosiasi Spa & Wellness Indonesia, industri Spa, dan Asosiasi Spa Terapis Indonesia. Terlebih SPA, salah satu bisnis yang juga menyerap banyak tenaga kerja di Indonesia.
“Ini adalah industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar dan tenaga kerja yang diserap itu tidak memerlukan pendidikan tinggi, sehingga ini sangat dibutuhkan oleh rakyat. Bisa dibayangkan jika pajak yang sedemikian tinggi lalu usaha itu berkembang, bagaimana 40%-75% itu sudah di atas dari sektor lain bahkan melebihi cukai," tegas Haryadi.
Mengutip data Global Wellness Institute (2023), Indonesia berada di peringkat ke-17 sebagai pasar tujuan wisata kebugaran. Wellness tourism ini menciptakan 1,3 juta lapangan kerja yang baru dan berkualitas.
Selama tahun 2017 – 2019 terjadi peningkatan yang signifikan terkait jumlah Spa di Indonesia yakni mencapai 15 persen.
Wulan Tilaar BFA, MSc Dipl. CIDESCO yang juga Perwakilan Industri Spa dan Anggota ASPI mengatakan, Indonesia tak hanya didukung oleh keindahan alam, tetapi juga memiliki pusat relaksasi dan SPA berbasis produk tradisional yang tersebar di berbagai daerah.
"Sungguh sangat disayangkan jika potensi besar Spa ini terancam hilang bila aturan mengenai pajak PBJT ini masih diberlakukan," tegasnya.
Untuk diketahui, aturan pajak PBJT ini tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Tarif pajak ini mulai berlaku per 1 Januari 2024.
Berdasarkan Pasal 58 ayat 2, tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
Baca Juga: 3 Home Spa Paling Rekomended di Malang, Terlaris dan Terfavorit