Suara.com - Asosiasi Spa & Wellness Indonesia (ASPI) menolak penetapan pajak bisnis SPA sebesar 40 persen yang kini diberlakukan Pemerintah.
Penolakan tersebut dilakukan ASPI, karena penetapan aturan 40 persen Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sangat memberatkan bisnis Spa.
"Banyak pelaku usaha Spa yang mayoritas berskala kecil dan menengah (UKM) tutup sejak pandemi Covid-19 yang mengakibatkan hilangnya mata pencaharian dan hingga kini belum bisa kembali normal," kata Ketua Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI), Mohammad Asyhadi, dalam konferensi pers bertajuk "Penolakan Mengenai Ditetapkannya Aturan 40% Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)" di Jakarta, Kamis (11/1/2024).
Ia menambahkan di saat industri Spa berusaha menata kembali usahanya pascapandemi, tiba-tiba dihadapkan pada munculnya aturan 40 persen pajak PBJT ini. Bisa dibayangkan betapa beratnya kelangsungan bisnis Spa, karena harga jasa Spa otomatis akan naik sehingga akan mengurangi minat masyarakat melakukan terapi kesehatan di Spa.
Baca Juga: 3 Home Spa Paling Rekomended di Malang, Terlaris dan Terfavorit
Selain itu, Perwakilan Industri Spa dan Anggota ASPI Kusuma Ida Anjani, menambahkan, para pelaku usaha Spa akan semakin terbebani dengan pajak yang besar, karena selain pajak PBJT 40 persen, pelaku usaha juga tetap membayar pajak PPN sebesar 11 persen, pajak penghasilan badan (PPh) 25 persen, PPh pribadi selaku pengusaha sebesar 5 sampai 35 persen tergantung Penghasilan Kena Pajak atau PKP.
"Penerapan aturan 40% pajak PBJT sangat berpotensi menggerus keberlangsungan usaha Spa di Indonesia, dimana Spa merupakan jasa pelayanan di bidang perawatan dan kesehatan, bukan bidang hiburan atau lainnya," tambahnya.
Oleh karena itu Asyhadi menilai, kebijakan pemerintah memasukkan usaha jasa pelayanan bisnis Spa sebagai bagian dari jasa kesenian dan hiburan sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 adalah tidak tepat.
Oleh karena itu asosiasi yang memiliki nama lain Perkumpulan Pengusaha Husada Tirta Indonesia tersebut meminta Pemerintah memperjelas definisi bisnis Spa dalam UU Nomor 1 Tahun 2022.
Hal senada dikemukakan pula oleh Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Haryadi BS. Sukamdani di kesempatan yang sama.
Baca Juga: Durasi Perawatan Jadi Penentu Pelanggan Datang ke Spa, Kenapa Bisa Begitu?
Ia berpendapat selama ini pihaknya dan stakeholder terkait tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan sebelum aturan itu keluar.
“Dari sektor pariwisata yang terkait, sepengetahuan saya kita belum ada yang diajak bicara. Jadi, ditetapkannya kan tahun 2022, saya mengecek sektor yang terkait tidak ada yang diajak bicara,” kata Haryadi.
Ia mengatakan seharusnya pemerintah melibatkan stakeholder terkait seperti Asosiasi Spa & Wellness Indonesia, industri Spa, dan Asosiasi Spa Terapis Indonesia. Terlebih SPA, salah satu bisnis yang juga menyerap banyak tenaga kerja di Indonesia.
“Ini adalah industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar dan tenaga kerja yang diserap itu tidak memerlukan pendidikan tinggi, sehingga ini sangat dibutuhkan oleh rakyat. Bisa dibayangkan jika pajak yang sedemikian tinggi lalu usaha itu berkembang, bagaimana 40%-75% itu sudah di atas dari sektor lain bahkan melebihi cukai," tegas Haryadi.
Mengutip data Global Wellness Institute (2023), Indonesia berada di peringkat ke-17 sebagai pasar tujuan wisata kebugaran. Wellness tourism ini menciptakan 1,3 juta lapangan kerja yang baru dan berkualitas.
Selama tahun 2017 – 2019 terjadi peningkatan yang signifikan terkait jumlah Spa di Indonesia yakni mencapai 15 persen.
Wulan Tilaar BFA, MSc Dipl. CIDESCO yang juga Perwakilan Industri Spa dan Anggota ASPI mengatakan, Indonesia tak hanya didukung oleh keindahan alam, tetapi juga memiliki pusat relaksasi dan SPA berbasis produk tradisional yang tersebar di berbagai daerah.
"Sungguh sangat disayangkan jika potensi besar Spa ini terancam hilang bila aturan mengenai pajak PBJT ini masih diberlakukan," tegasnya.
Untuk diketahui, aturan pajak PBJT ini tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Tarif pajak ini mulai berlaku per 1 Januari 2024.
Berdasarkan Pasal 58 ayat 2, tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.