Suara.com - Pidato Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri saat perayaan HUT ke-51 partainya, Rabu (10/1) kemarin, yang berisi kritikan keras terhadap penguasa, dinilai sebagai 'salam perpisahan' dengan Presiden Jokowi.
Megawati menghabiskan waktu selama 1 jam untuk pidato dalam acara tersebut. Tapi selama itu pula dirinya tak sekali pun menyebut nama Jokowi yang dulu dianggap sebagai kader terbaik PDIP.
Padahal, dalam banyak pidatonya pada satu dekade terakhir, Megawati selalu menyebut nama Jokowi.
Sebaliknya, Megawati justru banyak melontarkan kritik maupun sindiran politik mengenai penguasa yang menyalahgunakan kewenangan.
"Sekarang ini hukum dipermainkan. Kekuasaan dijalankan semaunya saja," kritik Megawati.
Tak hanya itu, Megawati juga menegaskan pemilu maupun pilpres bukanlah alat untuk melanggengkan kekuasaan seseorang.
"Pemilu bukan alat elite politik melanggengkan kekuasaan dengan segala cara. Jadi, moral dan etika harus dijunjung tinggi," kata dia.
Ahmad Khoirul Umum, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs, menilai pidato Megawati tersebut menunjukkan titik pisah antara PDIP dan Jokowi dalam dinamika politik menjelang Pilpres 2024.
"Pidato itu mengindikasikan banteng ketaton, banteng yang terluka dan siap mengamuk pihak yang melukainya. Ini menegaskan perpisahan PDIP dan Jokowi," kata Khoirul Anam, Kamis (11/1/2024).
Baca Juga: Cak Imin Ucapkan Selamat HUT PDIP, Ganjar Pranowo Langsung Komentar Begini
Banyak pihak yang menilai, indikasi perpisahan Jokowi dan PDIP dimulai dari Megawati yang menolak wacana presiden 3 periode maupun perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.
Setelahnya, Gibran Rakabuming Raka--Wali Kota Solo sekaligus kader PDIP--secara mengejutkan menjadi calon wakil presiden bagi Prabowo Subianto.
Padahal, Gibran oleh DPP PDIP sudah ditunjuk sebagai salah satu juru kampanye bagi capres cawapres usungannya, Ganjar Pranowo - Mahfud MD.
'Jokowi tak yakin dengan Ganjar'
Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, menilai memang ada perseteruan antara Megawati dengan Jokowi.
Tapi, kata dia, perselisihan itu bukan disebabkan oleh faktor-faktor yang selama ini menjadi dugaan banyak pihak.
"Bukan karena Megawati pernah mengkritik Jokowi dalam pidatonya atau apa, tapi karena Jokowi ingin mengamankan posisinya, keluarga, kroni, dan pendukungnya, setelah tidak lagi menjadi presiden pada Oktober 2024," kata dia.
Jamiluddin menuturkan, Jokowi tampak tidak yakin terhadap kemampuan Ganjar Pranowo bisa mengamankan kepentingannya bila nanti terpilih menjadi presiden.
Karena itulah, Jokowi memutuskan 'banting setir' menyetujui sang putra menjadi cawapres Prabowo Subianto, meskipun jelas-jelas bersebarangan dengan keputusan PDIP.
"Bisa jadi, Jokowi menilai Ganjar akan lebih loyal kepada Megawati bila jadi presiden," kata Jamiluddin.
Dia mengatakan, pertemuan antara Megawati dan Jokowi di Istana Merdeka pada 18 Maret 2023 tampaknya tidak berhasil menyelesaikan perbedaan pendapat ini.
Apalagi, sejak PDIP mendeklarasikan Ganjar sebagai capres, Jokowi justru lebih sering terlihat bersama Prabowo.
"Jadi, perseteruan antara Jokowi dan Megawati bukan berakar dari dendam atau sikap merendahkan, tetapi lebih pada perbedaan strategis dalam pemilihan capres. Ini menggarisbawahi kompleksitas dan dinamika politik internal yang berlangsung di Indonesia menjelang pemilihan presiden mendatang," kata dia.