Hukum Golput atau Tidak Memilih Pemimpin Menurut Islam

M Nurhadi Suara.Com
Rabu, 03 Januari 2024 | 17:32 WIB
Hukum Golput atau Tidak Memilih Pemimpin Menurut Islam
Pasangan Anies-Muhaimin nomor urut 1, Prabowo-Gibran nomor ururt 2, dan Ganjar-Mahfud nomor urut 3 saat penetapan nomor urut pasangan Capres dan Cawapres Pemilu 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (14/11/2023). [ANTARA FOTO/Galih Pradipta]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hukum golput atau tidak mau ikut memilih pemimpin menurut Islam menjadi perdebatan tersendiri di kalangan para ulama. Padahal, setiap pemilih memiliki alasan untuk golput. Paling sederhana, lantaran kesibukan kerja atau merantau di kala pemilu.

Namun, banyak yang mempertimbangkan aspek – aspek ideologis seperti ketidakcocokan visi – misi kandidat dengan tujuan pribadi dalam bernegara. 

Para ulama memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapi golput saat pemilu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi mengeluarkan fatwa golput dalam Pemilu 2024 haram.

Ketua Bidang Dakwah MUI, KH Cholil Nafis juga pernah berkicau di Twitter pribadinya dan menyatakan bahwa golput dalam pemilu adalah haram. Aturan ini diharapkan dapat mendongkrak partisipasi masyarakat dalam mengikuti Pesta Demokrasi 2024. 

Baca Juga: TKN Beberkan Alasan Gibran Tidak Perlu Hadiri Pemanggilan Bawaslu 2 Januari 2024

Fatwa itu menegaskan bahwa memilih pemimpin dalam Islam dinilai sebagai kewajiban demi menegakkan kepemimpinan dan pemerintahan di dalam kehidupan bersama. Cholil Nafis menambahkan bahwa masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih akan dinilai tidak bertanggung jawab terhadap arah bangsa ke depannya.

Di lain sisi, Muhammadiyah tidak bersepakat dengan MUI yang mengharamkan golput. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan hukum golput dalam pemilu adalah makruh.

Namun, mengajak orang golput hukumnya haram. Sikap ini diambil karena Muhammadiyah tidak berpihak pada satu golongan politik manapun menyongsong Pemilu 2024.

Kendati demikian, Mu’ti mengajak para warga Muhammadiyah untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Bahkan mendorong kader-kader yang potensial untuk terjun menjadi politisi dan berpartisipasi sebagai calon legislatif. 

“Ini supaya Muhammadiyah tidak terlalu banyak bicara politik. Biarlah politisi yang bicara politik. Karena kalau kami bicara politik, maka maa al-farqu baina (apa bedanya) kiai dengan politisi?” terang Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.

Baca Juga: Minta Bansos Jangan Dipolitisasi, PDIP: Zulhas Fokus Turunkan Harga Beras dan Cabai Saja

Mu’ti lalu menyebut jika Muhammadiyah mendorong diaspora kadernya dalam ranah politik, termasuk berdiaspora ke beragam institusi dan lembaga negara agar pesan dakwah dan nilai-nilai kebangsaan Muhammadiyah dapat tersalurkan.

Golput dalam Pandangan Islam

Menurut Alhafiz Kurniawan dalam NU Online menjelaskan, secara konstitusi, partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum di TPS adalah hak masing-masing tanpa sanksi hukum untuk absen.

Meskipun demikian, undangan KPU untuk hadir di TPS dianggap sebagai keharusan darurat untuk menjaga kelancaran pemerintahan yang sah, meski tanpa sanksi konstitusional. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh M Ibrahim Al-Baijuri dalam kitab Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid.

قوله (وواجب نصب إمام عدل) أي نصب إمام عدل واجب على الأمة عند عدم النص من الله أو رسوله على معين وعدم الاستخلاف من الإمام السابق... ولا فرق في وجوب نصب الإمام بين زمن الفتنة وغيره كما هو مذهب أهل السنة وأكثر المعتزلة

Artinya, “(Wajib menegakkan pemerintah yang adil) dengan maksud, umat diwajibkan untuk menegakkan pemerintahan yang adil ketika tidak ada nash dari Allah atau rasul-Nya pada pribadi tertentu, dan tidak ada penunjukkan pengganti dari pemerintah sebelumnya. Tidak ada perbedaan soal kewajiban menegakkan pemerintahan di zaman kaos/fitnah atau situasi stabil-kondusif-normal sebagaimana pandangan Mazhab Ahlussunnah dan mayoritas ulama Muktazilah."

Menurut Alhafiz Kurniawan, Syekh M Ibrahim Al-Baijuri dalam kutipannya itu mengatakan, umat Islam wajib menjaga keberlangsungan negara dengan adanya sosok pemimpin. Kewajiban ini bersifat syari, bukan aqli. Dijelaskan pula oleh Syekh M Ibrahim Al-Baijuri dari kitab yang sama,

 قوله (بالشرع فاعلم لا بحكم العقل) أي إن وجوب نصب الإمام بالشرع عند أهل السنة فاعلم ذلك

Artinya, “(Berdasarkan perintah syariat, patut diketahui, bukan berdasarkan hukum logika), maksudnya, penegakan pemerintahan merupakan kewajiban sesuai perintah syariat bagi kalangan Ahlussunnah wal jamaah. Pahamilah hal demikian,” 

KPU menggelar simulai Pemilu 2024, Selasa (22/3/2022). (Suara.com/Yaumal)
KPU menggelar simulai Pemilu 2024, Selasa (22/3/2022). (Suara.com/Yaumal)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa datang ke TPS dengan tujuan memilih pemimpin dalam rangka menjaga tegaknya keberlangsungan pemerintahan yang sah adalah wajib menurut syariat.

Dengan kata lain, menolak untuk memberikan suara (golput) adalah tindakan yang tidak sesuai dengan pandangan Islam terkait keharusan menjaga keberlangsungan pemerintahan yang sah.

Meskipun pemilihan umum tidak dapat secara instan memperbaiki keadaan yang buruk, tetapi pemilu diadakan untuk menjaga keberlangsungan pemerintahan yang sah, sehingga berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, kesehatan, dan hukum dapat tetap berjalan. Meski demikian, harapan kita adalah agar pemilu dapat membawa perubahan positif dalam semua bidang.

Wallahu alam bisshawab

Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI