Suara.com - Fenomena buzzer politik di media sosial rasa-rasanya semakin menjadi-jadi. Mengingat sudah memasuki masa-masa kontestasi politik.
Hal ini memang tak hanya sekali saja terjadi ketika memasuki masa-masa pemilu bahkan pilkada. Pada tahun 2019 pun terjadi kejadian serupa.
Salah satu fenomena buzzer politik yang cukup kontroversial jelang penghujung tahun kemarin adalah ketika Ketua BEM KM UGM Gielbran Muhammad Noor yang menobatkan Presiden Jokowi sebagai alumni UGM paling memalukan.
Pernyataannya yang frontal dan terang-terangan itu pun menjadi sasaran empuk para buzzer. Tentu saja ia kala itu langsung dibanjiri berbagai macam berita hoaks. Berikut ulasannya.
Baca Juga: Bertemu Petani Se-Jawa Tengah, Presiden Jokowi Tambah Anggaran Pupuk Subsidi Hingga Rp14 Triliun
Gielbran Kebanjiran Hoaks dan Nasihat
Dalam beberapa unggahan di akun media sosial, usai menganugerahkan Presiden Jokowi sebagai alumni UGM yang memalukan ia disebut-sebut dikeluarkan dari tempatnya untuk mengenyam pendidikan.
Namun, setelah dikonfirmasi Gielbran mengaku dari pihak UGM tak ada intervensi atas kritikannya yang menyebabkan dirinya dikeluarkan. Selain itu, Gielbran juga disudutkan mengenai IPK.
Ketua BEM KM UGM ini dituding memiliki nilai IPK yang buruk alias hanya 2,2 saja. Namun, lagi-lagi kabar itu hanya hoaks belaka.
Gielbran mengaku memiliki IPK 3,68, hal itu pun bisa ia buktikan melalui akun Simaster alias akun resmi dari kampusnya yang bisa memperlihatkan kalau dirinya masih resmi menjadi mahasiswa UGM.
Baca Juga: Hukum Jual Akun Media Sosial, Dinar Candy Perlu Pahami Aturan dalam UU ITE Berikut
Tentu tak berhenti sampai di situ saja, ia pun sempat mendapat serangan lantaran belum merampungkan kuliahnya. Hal itu tentu sangat menggelitik, karena serangan-serangan ini tak substansif malah terdengar seperti nasihat.
Hal-hal seperti inilah yang kadang membuat perdebatan di media sosial jadi tidak produktif.
Buzzer Bikin Perdebatan Tidak Sehat
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Gita Putri Damayana menilai, buzzer politik kerapkali menyebarkan narasi yang berseberangan dengan narasi kelompok masyarakat sipil. Hal itu sah-sah saja sepanjang narasi yang dibangun para buzzer berkualitas.
Meski demikian, ia juga melihat buzzer berisiko membangun perdebatan yang tak produktif dan tak sehat jika mereka menyebarkan narasi yang bersifat menyudutkan.
"Ketika misalnya masyarakat sipil disudutkan gitu ya, dan bukan didebat soal kontennya tapi mengarah kepada organisasi masyarakat sipilnya itu sendiri, atau malah yang diangkat yang enggak ada hubungannya, justru itu yang saya pikir diskusi yang tercipta jadi enggak produktif gitu kan," kata Gita.
"Padahal debat yang sehat itu kan penting untuk demokrasi kita," ujar Gita.
Gita mengatakan, para buzzer dapat dengan mudah menggeser perdebatan ke hal-hal yang tidak substansial. Dengan demikian, perhatian publik akan teralihkan.
Mereka bisa melakukan itu dengan penyeragaman narasi, termasuk memutarbalikkan fakta.
"Kalau misalnya ada 6-7 orang agendanya persis sama, pake tagar, sama dan model pengondisian faktanya diputarbalikkan sedemikian rupa, itu kan kita bisa dibilang ada usaha teroraganisir, ada koordinasinya," katanya.
Selain kecerdasan publik yang harus ditingkatkan di era buzzer-buzzeran ini, sepertinya buzzer juga butuh literasi agar narasi yang mereka gaungkan tetap substansif alih-alih menyerang berita-berita yang tak relevan.