Kecelakaan di Smelter Terus Berulang: Nyawa Tidak Bisa Dibayar dengan Uang

Kamis, 28 Desember 2023 | 16:15 WIB
Kecelakaan di Smelter Terus Berulang: Nyawa Tidak Bisa Dibayar dengan Uang
Ilustrasi smelter (freepik)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Belakangan ini insiden yang menimpa PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) masih ramai menjadi sorotan. Terjadi ledakan tungku smelter milik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (PT ITSS) yang merupakan anak usaha Tsingshan Group asal Tiongkok.

Dalam kronologi yang dihimpun WALHI Sulteng, ledakan itu terjadi pada pukul 05.30 Wita.

Menurut kesaksian, salah seorang karyawan Ferosilikon PT ITSS tengah melakukan perbaikan tungku, kemudian melakukan pemasangan plat besi pada bagian tungku tersebut sehingga mengakibatkan ledakan yang memicu beberapa tabung oksigen disekitar area juga ikut meledak.

Dilaporkan dalam peristiwa itu, 13 orang meninggal dunia dan 38 orang mengalami luka-luka.

Baca Juga: Update Daftar 19 Korban Meninggal Dunia Ledakan PT ITSS Morowali, TKI 11 TKA 8 Orang

Kecelakaan Berulang Dalam Kurun 2015-2022

Insiden meledaknya tungku smelter PT Indonesia Tsingshan Stainless Stell (ITSS) di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada Minggu (24/12/2023) dinilai sebagai fenomena gunung es atas lemahnya penerapan keselamatan kerja.

"Ini adalah fenomena puncak gunung es yang terus dibiarkan. Ini bukan kejadian pertama, tetapi sudah berulang," kata koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar.

"Dan fenomena yang sama terjadi di banyak kawasan industri nikel di Indonesia," katanya menambahkan.

Melansir catatan Trends Asia, selama kurun 2015-2022, 53 orang tewas karena kecelakaan kerja di sana. Sebanyak 75 persen adalah pekerja lokal, dan sisanya tenaga kerja asal China.

Baca Juga: Biodata Laode M Syarif, Eks Pimpinan KPK yang Salah Satu Keluarganya Jadi Korban Smelter ITSS

"Jumlah korban kematian di kawasan industri nikel ini sebenarnya bisa jauh lebih tinggi, namun perusahaan seringkali terutup, cenderung sembunyikan informasi. Ini sejalan dengan pemerintah yang abai, tak tegas," tegas Melki.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, Moh. Taufik menambahkan, dugaan perasuhaan yang berupaya menutupi kasus kecelakaan kerja, juga diperparah dengan adanya tekanan kepada para pekerja.

"Para karyawan ketakutan memberikan informasi kecelakaan, karena konsekwensinya mereka akan mendapatkan surat peringatan atau bahkan langsung dipecat,” kata Taufik.

Selain itu, pada Januari-September 2023 sudah ada 19 kecelakaan smelter dengan korban jiwa dan 37 lainnya luka-luka

Lantas apa sih penyebab dari kejadian kecelakaan kerja yang terus berulang ini?

Penyebab Kecelakaan Kerja di Smelter Terus Terjadi

Juru Kampane Tren Asia Arko Tarigan turut mengeluarkan opininya terkait penyebab kejadian ini terus berulang. Hal pertama yang ia sampaikan adalah ketidakegasan pemerintah terhadap investor hingga pemilik perusahaan.

"Ini karena tidak adanya suatu hal yang tegas dari pemerintah terhadap para investor-investor pemilik perusahaan, yang terus saja melakuakn hal ini terus menerus," jelasnya.

"Di perusahaan itu mereka harus menitikberatkan dengan statement bahwa mereka itu zero accident," tambahnya.

Ia juga menyinggung kalimat problematik yang kerap dilontarkan para pelaku. Misalnya soal tidak ada orang yang ingin terkena musibah, alih-alih mengevaluasi keselamatan pekerja dengan cara mengevaluasi apa yang selama ini menjadi masalah.

"Tidak bisa mereka mengatakan 'ya ini sudah nasib, kita tidak mau mendapatkan musibah ini, siapa yang mau mendapatkan musibah' Bukan di situ, evaluasi yang penting," katanya.

Tren asia juga menyoroti UU No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang dianggap usang. Masa pelanggar hukum K3 hanya mendapat hukuman maksimal 3 bulan penjara dan denda Rp100 ribu.

Ujung-ujungnya penyelesaian masalah berupa kompensasi dan uang duka. Tindakan- tindakan ini dianggap menyepelekan. Memang kejadian telah terjadi dan kompensasi itu wajib.

Namun, nyawa tidak bisa dibayar dengan uang. Dalam hal ini perusahaan harus melakukan evaluasi, begitu juga dengan pemerintah dalam menegaskan kebijakan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI