Fenomena Youthwashing Dalam Isu Krisis Iklim

Sabtu, 23 Desember 2023 | 10:37 WIB
Fenomena Youthwashing Dalam Isu Krisis Iklim
Sejumlah peserta membawa poster saat aksi krisis iklim di depan Kantor KPU, Jakarta, Jumat (3/11/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pada masa kampanye Pilpres 2024 ini, isu-isu yang disuarakan publik semakin mencuat. Mulai dari isu pemberantasan korupsi hingga krisis iklim yang kini tengah dilomba-lombakan sebagai komoditas politik.

Krisis iklim kekinian di Indonesia menjadi isu paling disorot oleh publik. Terutama oleh para anak muda yang kini sangat aware pada isu tersebut.

Beberapa bulan belakang, anak-anak muda dalam aksi Global Climate Strike (GCS) kembali melakukan aksi dan menyerukan tentang permasalahan krisis iklim yang semakin penting.

Aksi itu pun serentak didukung oleh lebih dari 69 komunitas komuniyas muda yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Tentu saja mereka menuntut pemerintah untuk memprioritaskan kedaruratan krisis iklim pada tahun kampanye politik.

Baca Juga: Akui Oposisi Penting, Anies: Tapi Kekuatannya Tak Lebih Besar dari Pemerintah Agar Bisa Gol

Namun, beberapa kali aksi anak muda ini malah dibuat seperti fenomena youthwashing. Lantas apa itu youtwashing, berikut alasannya?

Fenomena Youthwashing

Melansir Climate Reality Project, youthwashing merupakan penggunaan suara-suara anak muda secara performatif tanpa memberikan perhatian yang serius atau bertindak sesuai dengan masalah yang diangka anak muda.

Maka dari itu, kehadiran anak muda seolah hanya sebatas ditampilkan, namun tidak didengarkan. Paling tidak dalam menyongsong keputusan-keputusan yang penting.

Fenomena ini pun tampak pada praktik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkuasa. Mereka menggunakan kehadiran anak muda atau mengatasnamakan anak muda sebagai alat untuk menarik simpati yang baik.

Baca Juga: Personel Polisi Mulai Berjaga di JCC Senayan Jelang Debat Cawapres, Ini Alasannya

Anak muda sering diundang ke acara-acara penting, seperti panel diskusi dan kampanye, sebagai strategi untuk mencitrakan entitas yang responsif dan peduli terhadap isu-isu anak muda, seperti iklim, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Padahal, pada kenyataannya, entitas ini tidak benar-benar memberikan perhatian atau tindakan nyata terhadap aspirasi dan tuntutan dari anak muda.

Salah satu contoh praktik youthwashing di Indonesia terjadi pada bulan Oktober 2021. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Invesatasi, Luhut Binsar Pandjaitan.

Dalam pidato di agenda Climate Leaders Message, ia meminta anak muda untuk berkarya dalam bidang lingkungan hidup karena ini masalah yang serius.

Padahal sudah banyak peran anak muda dalam merespons ancaman krisis iklim. Mulai dari pembentukan organisasi edukasi, komunitas advokasi, hingga implementasi model bisnis berkelanjutan.

Pemerintah tampaknya sudah terlalu banyak meminta dari para pemuda tanpa mau menengok lebih jauh aksi dan mendengar solusi apa yang mereka tawarkan untuk menjawab persoalan ini.

Dampak Ancaman Perubahan Iklim

Menurut laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), pada Februari tahun 2022 telah memberi peringatan keras kepada umat manusia akan dampak pemanasan global yang semakin nyata dan waktu untuk mencegahnya semakin sempit.

Laporan itu disusun badan ilmuwan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan pada rentang tahun 2030-2045, peningkatan suhu Bumi berpotensi melampaui 1,5 derajat celcius atau batas yang tidak aman lagi bagi manusia.

Jika 8 tahun ke depan tidak ada langkah serius untuk menghentikan laju pemanasan global, maka prediksi kenaikan suhu Bumi akan semakin cepat. Dampaknya, dunia akan mengalami krisis pangan, banjir besar, kekeringan, kebakaran, hutan, kematian massal, hingga kepunahan spesies besar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI