Suara.com - Pada masa kampanye Pilpres 2024 ini, isu-isu yang disuarakan publik semakin mencuat. Mulai dari isu pemberantasan korupsi hingga krisis iklim yang kini tengah dilomba-lombakan sebagai komoditas politik.
Krisis iklim kekinian di Indonesia menjadi isu paling disorot oleh publik. Terutama oleh para anak muda yang kini sangat aware pada isu tersebut.
Beberapa bulan belakang, anak-anak muda dalam aksi Global Climate Strike (GCS) kembali melakukan aksi dan menyerukan tentang permasalahan krisis iklim yang semakin penting.
Aksi itu pun serentak didukung oleh lebih dari 69 komunitas komuniyas muda yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Tentu saja mereka menuntut pemerintah untuk memprioritaskan kedaruratan krisis iklim pada tahun kampanye politik.
Namun, beberapa kali aksi anak muda ini malah dibuat seperti fenomena youthwashing. Lantas apa itu youtwashing, berikut alasannya?
Fenomena Youthwashing
Melansir Climate Reality Project, youthwashing merupakan penggunaan suara-suara anak muda secara performatif tanpa memberikan perhatian yang serius atau bertindak sesuai dengan masalah yang diangka anak muda.
Maka dari itu, kehadiran anak muda seolah hanya sebatas ditampilkan, namun tidak didengarkan. Paling tidak dalam menyongsong keputusan-keputusan yang penting.
Fenomena ini pun tampak pada praktik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkuasa. Mereka menggunakan kehadiran anak muda atau mengatasnamakan anak muda sebagai alat untuk menarik simpati yang baik.
Baca Juga: Akui Oposisi Penting, Anies: Tapi Kekuatannya Tak Lebih Besar dari Pemerintah Agar Bisa Gol
Anak muda sering diundang ke acara-acara penting, seperti panel diskusi dan kampanye, sebagai strategi untuk mencitrakan entitas yang responsif dan peduli terhadap isu-isu anak muda, seperti iklim, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Padahal, pada kenyataannya, entitas ini tidak benar-benar memberikan perhatian atau tindakan nyata terhadap aspirasi dan tuntutan dari anak muda.