Suara.com - Bulan-bulan menjelang Pemilu 2024 sepertinya tak pernah luput dari polemik-polemik pada politik. Mulai dari drama hingga penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh kalangan aparatur negara.
Hal itu pun disampaikan oleh Koalisi NGO untuk Keadilan Pemilu (SINGKAP). Mereka terdiri atas KontraS, SETARA Institute, Imparsial, dan KPPOD. Periode pemantauan itu dilaksanakan sejak bulan Mei-November 2023.
Mereka melakukan pemantauan itu dengan metoden case tracking platform/CTP berbasis Google Form dan desk study. Pemantauan itu pun menghasilkan ada 59 kasus penyimpangan aparatur negara dengan 65 tindakan.
Diketahui, ada 3 jenis pelanggaran utama diantaranya ada pelanggaran netralitas (32 kasus), kecurangan pemilu (24 kasus), dan pelanggaran profesionalitas (3 kasus). Dirangkum ada 3 pelaku penyimpangan tertinggi berdasarkan tindakan yakni, ASN Pemerintah Kabupaten (10), Kepala Desa, Polri, Kepala Dinas (5), dan Guru (4).
Baca Juga: Perbandingan Format Debat Capres-Cawapres 2024 dan 2019
Menurut Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan, dari data penyimpangan di atas menunjukkan rendahnya kesadaran aparatur negara untuk menaati peraturan perundang-undangan sebagai rule of games dalam Pemilu dan tata demokrasi pada umumnya.
Bisa dilihat bukan, penyimpangan itu paling banyak dilakukan oleh ASN. Lantas kenapa sih dalam Pemilu ini ASN harus netral? Berikut ulasannya.
Aturan ASN Harus Netral
Aturan mengenai ASN yang harus netral dalam pemilu secara jelas tercantum di beberapa regulasi. Netralitas yang dimaksud dalam pemilu adalah ASN tidak boleh menunjukkan keberpihakan pada kandidat atau partai yang menjadi peserta pemilihan umum.
Hal itu pun sudah tertuang pada Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 (sebagian isinya telah diubang dengan UU ASN yang disahkan oleh DPR RI 3 Oktober 2023). Kendati demikian, bukan berarti ASN tidak boleh ikut pemilu. Mereka tetap memiliki hak pilih dalam pemilu, namun harus bersikap netral.
Baca Juga: Gibran Koleksi Toyota Avanza Lawas, Muhaimin dan Mahfud MD Sudah Naik Alphard
Hal ini sesuai dengan pasal 9 UU ASN 5/2014 yang menyebutkan bahwa ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi politik. Aturan netralitas ASN di pemilu juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
Maka dari itu, PP mengatur bahwa PNS melanggar kewajiban netralitas politik dan pemilu dapat dikenai sanksi disiplin.
Berdasarkan UU ASN 5/2015 tindakan ASN yang dianggap tidak netral adalah dengan ikut serta dalam politik praktis. Itu artinya ia tidak boleh bergabung dengan anggota maupun pengurus partai politik.
Selain itu, politik praktis yang dimaksud dalam UUS ASN juga bisa berupa dalam beberapa tindakan yang menunjukkan keberpihakan, termasuk ikut kegiatan kampanye hingga menunjukkan dukungan lewat unggahan media sosial.
Lantas kenapa ASN harus netral dalam Pemilu?
Alasan ASN Harus Netral
Tentu saja ada beberapa alasan mendasar yang membuat ASN harus netral saat Pemilu. Salah satunya yang paling familiar adalah mencegah konflik kepentingan.
Netralitas ASN penting untuk memastikan tidak ada penggunaan fasilitas negara dalam upaya menyongkong peserta pemilu.
Di sisi lain, merujuk pada laman resmi Bawaslu, ASN diharuskan untuk netral karena statusnya sebagai pegawai pemerintah yang sangat mengikat. Artinya, ASN diangkat agar menjalankan tanggung jawabnya kepada publik, bukan untuk kepentingan suatu golongan atau parpol tertentu.
Pentingnya sikap netral dari ASN pun dijelaskan dengan tegas dalam UU Aparatur Sipil Negara. Pasal 2 UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 yang berisi ketentuan bahwa salah satu asas dalam kebijkaan dan Manajemen ASN adalah netralitas.