
Mahasiswa Doktoral di Nutritional Biology, University of California, Davis, Davrina Rianda seperti dikutip dari The Conversation, mengatakan bahwa produsen dan pemasaran susu formula (sufor) yang agresif justru bisa mengancam upaya penanganan stunting.
Seorang mahasiswa doktoral di bidang Nutritional Biology dari University of California, Davis, Davrina Rianda dalam sebuah kutipan dari The Conversation menggarisbawahi bahwa pendekatan agresif dalam pemasaran susu formula (sufor) bisa mengganggu upaya penanganan stunting.
Menurut Davrina, anak-anak di bawah usia tiga tahun sering mengonsumsi sufor. Data dari survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa 72,9% dari anak usia 6–23 bulan yang tidak lagi mendapatkan ASI beralih ke susu formula.
Davrina khawatir, tanpa pembatasan yang ketat terhadap pemasaran sufor, target penurunan stunting dari 21,6% pada tahun 2022 ke 14% tahun depan akan sulit dicapai.
Dia menekankan bahwa meskipun sufor dirancang secara khusus, tidak ada kandungan dalam sufor yang dapat menandingi manfaat ASI, terutama dalam mendukung sistem kekebalan tubuh anak.
Anak-anak dengan kekebalan tubuh yang kurang rentan terhadap penyakit, yang menyebabkan mayoritas zat gizi yang mereka konsumsi digunakan untuk melawan penyakit, bukan untuk pertumbuhan. Ini membuat ASI eksklusif tetap menjadi langkah terbaik untuk mencegah stunting.
Namun, penggunaan sufor pada anak-anak di bawah tiga tahun seringkali tidak memperhatikan pola makan yang tepat bagi bayi dan anak.
Sufor kadang menjadi alternatif saat anak tidak mau makan, meskipun pada masa ini sangat penting untuk memperkenalkan anak pada berbagai jenis makanan dari segi rasa, tekstur, dan penampilan.

Data menunjukkan bahwa 71% sufor untuk batita memiliki tingkat gula yang tinggi menurut standar Badan Standar Makanan Inggris (UK FSA). Rata-rata kandungan gula pada sufor batita adalah 7,3 gram per 100 ml, setara dengan minuman berpemanis.
Baca Juga: Dari Anak Penjual Ayam Jadi Mantu Presiden, Weton Selvi Ananda Sudah Jadi Tanda?
Hal ini berisiko membangun preferensi anak terhadap rasa manis pada masa awal kehidupan, membuat orangtua cenderung memilih makanan dan minuman yang manis sesuai dengan keinginan anak.