Suara.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi disebut sempat marah pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tidak menghentikan penyelidikan kasus korupsi Setya Novanto. Kabar ini pertama muncul dari mulut mantan Ketua KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo.
Agus dengan blak-blakan mengaku dirinya dipanggil Jokowi secara khusus, tanpa didampingi pimpinan KPK lainnya. Di depan Menteri Sekretariat Negara Pratikno, Agus mengaku dimarahi oleh Jokowi dan disuruh menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menyeret nama Setnov.
"Waktu saya datang pak Presiden sudah marah. Pas masuk beliau langsung bilang, 'Hentikan!' ke saya. Saya heran apa maksudnya dihentikan, ternyata yang disuruh hentikan itu kasus e-KTP pak Setya Novanto," beber Agus dalam wawancaranya di salah satu stasiun televisi swasta, Kamis (30/11/2023).
Meskipun sudah mendapat peringatan dari Jokowi, namun Agus mengaku menolak permintaan Presiden. Ia juga menduga Jokowi berniat menyelamatkan Setya Novanto dari jeratan hukuman atas kasus mega korupsi e-KTP.
Tuduhan itu akhirnya terdengar oleh Istana. Melalui pernyataan resmi, Istana membantah pernyataan Agus yang mengaku dimarahi Jokowi. Pihak Istana juga membantah Jokowi meminta KPK menghentikan kasus korupsi e-KTP.
Sebagai informasi, kasus mega korupsi e-KTP ini sempat menghebohkan publik pada tahun 2017 silam. Saat itu, KPK menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun.
Lalu, siapa sosok Setya Novanto sebenarnya? Simak inilah profil selengkapnya.
Profil Setya Novanto
Drs. Setya Novanto, Ak. merupakan politikus asal Jawa Barat. Setnov, begitu nama panggilannya, pernah menjadi kader Partai Golkar.
Baca Juga: Biodata dan Profil Iriana, Kenapa Istri Jokowi Disebut Tak Hadiri Pemakaman Mertua?
Sebelum menjadi politikus, Setnov pernah berprofesi sebagai pengusaha. Profesi ini digelutinya sejak masih berkuliah di Unika Widya Mandala, Surabaya. Ia juga pernah kerja serabutan hingga akhirnya bergabung dengan kader Kasgoro pada 1974.
Sosoknya kemudian memutuskan bergabung dengan Partai Golkar dan menjadi legislatif dapil Nusa Tenggara Timur II. Setnov juga berhasil bertahan di kursi DPR RI selama hampir 20 tahun lamanya.
Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar periode 2009-2014 dan terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2016 - 2017.
Tak hanya itu, Setnov juga berhasil menduduki kursi nomor satu sebagai Ketua DPR RI periode 2014-2015 dan periode 2016-2017, sebelum akhirnya dijebloskan ke penjara lantaran terlibat dalam kasus korupsi e-KTP.
Kasus megakorupsi E-KTP Setya Novanto
Pada tanggal 17 Juli 2017, KPK akhirnya mengumumkan status Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan E-KTP. Korupsi ini terjadi pada kurun tahun 2011-2012, di mana Setnov masih menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR.
Dari hasil penyelidikan KPK, Setnov diduga terlibat dalam pengaturan anggaran pengadaan e-KTP sebesar Rp5,9 triliun agar bisa disetujui semua anggota DPR.
Ia juga diduga sengaja mengatur tender atau pemenang lelang agar bisa mendapatkan uang hasil korupsi pengadaan tersebut.
Namun, status Setnov sebagai tersangka sempat dibatalkan. Ini setelah hakim Cepi Iskandar menetapkan status tersangka Setnov tidak sah pada 29 September 2017.
Situasi itu membuat KPK akhirnya memutar otak dan kembali melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara e-KTP. Lagi-lagi, KPK menetapkan status tersangka kepada Setnov pada 10 November 2017.
Penetapann status tersangka ini ternyata diabaikan oleh Setnov. Puncaknya, KPK memutuskan untuk menjemput paksa Setnov, namun yang bersangkutan sedang tidak berada di rumah.
Penahanan Setnov akhirnya bisa dilakukan pada tanggal 17 November 2017. Namun dengan alasan kesehatan, Setnov baru bisa diperiksa pada tanggal 20 November.
Setelah melalui beberapa tahap penyidikan, Setya Novanto divonis hukuman 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Ia terbukti merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Kontributor : Dea Nabila