Suara.com - Menjelang Pemilu tahun 2024 istilah 'Pesta Demokrasi' kembali muncul di media manapun. Tak dapat dipungkiri penyebutan itu memang sangat melekat dengan segala jenis Pemilihan Umum di Indonesia.
Istilah ini memang seolah menggambarkan Pemilu yang seperti hajatan yang patut dirayakan. Hal itu pula yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, ia menyampaikannya pada saat ramah tamah dengan tokoh masyarakat di Bali.
Ayah dari Gibran Rakabuming Raka itu mengatakan kalau Pemilu bukanlah sebuah perang. Melainkan harus disambut dengan riang gembira.
Namun, di balik istilah 'Pesta Demokrasi' ini juga menyimpan sejarah loh. Berikut ulasannya.
Baca Juga: Prabowo - Gibran Incar 22 Juta Suara Anak Muda di Putaran Pertama Pilpres 2024
Pesta Demokrasi Dipopulerkan oleh Soeharto
Istilah 'Pesta Demokrasi' ini yang mempopulerkan pertama kali di Indonesia adalah Soeharto. Dahulu Soeharto menyematkan julukan ini ketika berpidato di Pembukaan Rapat Gubernur/Bupati/Walikota se-Indonesia.
"Pemilu harus dirasakan sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam," kata Soeharto.
Kala itu Soeharto menyampaikan pidatonya yang mencerminkan pandangannya mengenai Pemilu. Pandangannya itu lantas memengaruhi jalannya Pemilu di Indonesia.
Menurut Soeharto, Pemilu dilaksanakan guna memperkokoh persatuan nasional, mendewasakan kehidupan demokrasi, dan menggelorakan semangat pembangunan. Begitupun sebalikanya Pemilihan Umum ini bukan ajang untuk mencerai-beraikan persatuan nasional, apalagi menghambatnya.
Cara Orba Meredam Demokrasi
Pemilu 1982 menjadi pemilu pertama yang dilabeli 'Pesta Demokrasi'. Siapa sangka kalau istilah tersebut dianggap sebagai cara rezim Orde Baru menyembunyikan proses demokrasi yang tak demokratis.
Pada rentang 1967-1982, Soeharto tiga kali menggelar pemilu yakni 1971, 1977, dan 1982. Dalam tiga kali Pemilu, Golongan Karya (Golkar) menang dalam Pemilu. Tentu saja kemenangan ini tak lepas dari intervensi Soeharto sebagai penguasa.
Bahkan, ia melarang PNS dan ABRI terlibat dalam kegiatan parpol, menyingkirkan tokoh-tokoh oposisi, hingga menggabungkan partai menjadi dua dan satu golongan karya.
Dianggap Istilah Aneh dan Untuk Apa Pemilu?
John Pamberton dalam tulisannya yang berjudul 'Notes on the 1982 General Election in Solo' (1986). mengartikan pemilu sebagai gelaran pesta yang terkesan aneh, apalagi digunakan untuk menggambarkan pesta demokrasi.
Ia mengibaratkan kata 'pesta' dengan ritual upacara pernikahan di adat Jawa yang rangkaian acaranya sudah bisa ditebak. Sama halnya dengan konteks pemilu, yang pemenangnya sudah ketahuan sejak awal.
Selain itu, Dalam penelitiannya mengenai Pemilu 1977, "The Indonesian Election: A National Ritual" (1980), antropolog N.G. Schulte Nordholt cenderung menilai pemilu ialah ritual yang direproduksi legitimasi rezim tanpa menantang kekuasaan.
Ia juga menyampaikan simpulan gambaran pemilu di era Orde Baru dalam bentuk pertanyaan retoris: Apa guna pemilu jika hasilnya sudah dimanipulasi sejak awal?