Suara.com - Perdebatan mengenai privilese belakangan ini kembali ramai dibicarakan. Apalagi jika diksi tersebut dilontarkan oleh seseorang yang notabennya memiliki privilese dari sisi ekonomi dan strata sosial.
Melalui sebuah unggah di platform X, akun @arsipaja, mengunggah pernyataan Angela Tanoesoedibjo mengenai privilese. Ia menyebutkan kalau privilese itu tidak menjamin kesuksesan melainkan membuka sebuah kesempatan.
"Yang saya percayai dan yang saya observasi, privilege itu tidak menjamin kesuksesan, privilege itu membuka kesempatan," ucapnya.
Bahkan tak hanya blio saja yang mengatakan kalau privilese tidak menjamin kesuksesan, melainkan kesempatan. Ada banyak orang. Namun, apakah semua orang memiliki kesempatan yang sama? Tentu hal itu tergantung dari masing-masing pola pikir suatu individu.
Perlu dipahami juga, kalau sebuah hak istimewa atau privilese ini tidak mutlak diartikan bahwa seseorang kebal terhadap kesulitan hidup, hanya saja ia lebih beruntung dari orang lain dalam suatu hal saja. Tentu saja dalam hal lain belum tentu.
Hal itu berarti posisi seseorang bisa sangat bersinggungan, seseorang bisa tertindas dan diistimewakan dalam waktu yang bersamaan. Lantas kenapa sih seseorang kerap enggan mengatakan kalau dirinya memiliki privilese.
Mengapa Engga Mengakui Privilese?
Selain memiliki sentimen soal privilese yang terlontar dari figur ekonomi oke dan strata sosial tinggi, beberapa orang juga tak mengakui privilesenya sendiri. Tentu saja hal itu terjadi bukan tanpa alasan.
Tak dapat dipungkiri pada era masyarakat yang sangat kompetitif sekarang pengakuan atas privilese kerap dianggap cara berpikir primitif. Padahal faktanya privilese memang sedikit banyak turut memengaruhi kesuksesan dan kegagalan seseorang.
Di sisi lain, mengaku privilese juga salah satu sikap awal menjadikan seseorang lebih merunduk. Pasaknya dirinya mampu menyadari kalau keistimewaan yang kini dirasakan bukanlah berkat ketahanan dan keunggulan diri semata.