Suara.com - Baru-baru ini Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan kalau satu dari 10 orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa. Hal itu pun berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2018.
Namun, Budi mengatakan kalau banyaknya kasus yang merujuk pada gangguan jiwa dan belum terdekteksi di Indonesia dikarenakan tingkat screening yang masih lemah. Menurutnya, sejauh ini tenaga di fasilitas kesehatan hanya memberikan diagnosis berdasarkan kuesioner.
Misalnya pada gangguan jiwa kecemasan (anxiety) juga masih sulih untuk terdeteksi. ia menyarankan seharusnya pemerintah meminimalisir kondisi tersebut sebelum kemudian pasien bertambah buruk di tahapan depresi dan skizofernia.
Karena deteksi dini masih sebatas obeservasi dan manual. Maka dari itu, Kemenkes menurutnya akan mengupayakan deteksni dini gangguan jiwa yang lebih canggih ke depan.
Baca Juga: 38 Kasus Positif Cacar Monyet, Menkes Budi Gunadi Sebut Penularannya Tidak Secepat Covid
Screening akan kita perbaiki agar semua Puskesmas bisa melakukan screening jiwa. Karena ini tinggi sekali (kasus gangguan jiwa) dan seharusnya bisa ditangai lebih baik," katanya.
Selain itu, Kemenkes juga akan mengupayakan fasilitas kesehatan khusus untuk pasien dengan gangguan jiwa. Budi memberi contoh jika pasien diagnosis skizofernia, maka pasien tersebut harus dirawat namun tidak harus rumah sakit jiwa (RSJ) melainkan tempat khusus di faskes.
Lantaran RSJ masih memiliki stigma, maka dari itu jik ada pasien gangguan jiwa yang kondisinya lebih baik. Maka selanjutnya hanya perlu dipantau oleh tenaga kesehatan atau komunitas.
"Karena RSJ itu stigmatize. Jadi oleh WHO strategi mental health didorong kembali ke komunitas kalau bisa," ujar Budi.
Tidak Perlu Malu Masuk Rumah Sakit Jiwa
Baca Juga: Kemenkes Ikut Manfaatkan AI untuk Ekosistem Big Data di Layanan Kesehatan
Tidak dapat dipungkiri, rumah sakit jiwa memang memiliki stigma sebagai hunian orang gila. Tak hanya dari penamaannya saja, bahkan banyak konten-konten yang turut membentuk stigma buruk mengenai rumah sakit jiwa itu sendiri.
Persepsi soal rumah sakit jiwa bagi beberapa orang adalah hunian bagi orang gila, orang kesurupan, dan hilang ingatan. Maka dari itu hal itu membuat rumah sakit jiwa seorang aib bagi seseorang atau pun keluarga.
Padahal secara umum keberadaan rumah sakit jiwa itu sendiri untuk membantu masyarakat yang mengalami gangguan jiwa agar tertangani dengan baik sampai terciptanya kondisi jiwa yang sehat. Namanya juga rumah sakit pasti punya tujuan akhirnya adalah kesembuhan bagi pasien terhadap penyakit tertentu.
Berkonsultasi dengan psikiater hingga konselor untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan sangatlah penting. Tak harus malu karena jika merasa badan kita sakit sudah memang seharusnya mendatangi ahlinya agar mendapatkan penanganan yang dibutuhkan.
Di sisi lain, stigma soal rumah sakit jiwa memang bukan hanya informasi mengenai hunian orang gila. Tapi karena penamaannya juga, menurut seorang dr. Nikensari penamaan dengan menghilangkan kata 'jiwa' memang mengurangi, namun tidak lantas mematahkan stigma yang sudah terbentuk.
Efek Stigma Masyarakat Terhadap Gangguan Jiwa
Selain soal stigma mengenai rumah sakit jiwa, orang dengan gangguan jiwa pun memiliki stigma yang tidak cukup baik pula. Maka dari itu, pengidap merasa kalau penyakit mental yang menimpanya sebagai sebuah aib.
Merujuk pada penelitian Girma, ndividu yang terkena stigma di masyarakat sulit untuk berinteraksi sosial bahkan dalam kasus terburuk dapat menyebabkan individu melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu penolakan untuk mencari pengobatan, penurunan kualitas hidup, kesempatan kerja yang lebih sedikit, penurunan peluang untuk mendapatkan pemukiman, penurunan kualitas dalam perawatan kesehatan, dan penurunan harga diri.
Di sisi lain, pada penelitian Mestdagh stigma tak hanya berpengaruh pada pasien saja, melainkan masyarakat sekitar. Mereka merasa ketakutan kalau ada klien gangguan jiwa di lingkungan masyarakatnya karena mereka berpikir klien gangguan jiwa suka mengamuk dan mencelakai orang lain. Semua itu merupakan konsekuensi dari stigma gangguan jiwa.