Suara.com - Baru-baru ini Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej kini tengah mendapatkan sorotan tajam.
Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi meningkatkan kasus yang menimpa Eddy dari tahap penyelidikan ke penyidikan.
Eddy kini diterpa isu bahwa dirinya menerima gratifikasi Rp 7 miliar dari Helmut Hermawan, mantan Direktur Utama perusahaan pertambangan PT Citra Lampia Mandiri.
Tudingan tersebut datang dari Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso yang melaporkan Eddy Hiariej ke KPK pada 14 Maret 2023.
Baca Juga: Rekam Jejak Eddy Hiariej: Pendidikan dan Karier Wamenkumham yang Tersandung Kasus Dugaan Gratifikasi
Sugeng menuding bahwa Eddy menerima 'uang haram' tersebut dari dua asisten setianya.
"Pertama, bulan April dan Mei (2022) ada satu pemberian dana masing-masing Rp 2 miliar (jadi) sebesar Rp4 miliar, yang diduga diterima oleh Wamen EOSH (Eddy) melalui asisten pribadinya di Kemenkumham saudara YAR ini buktinya (menunjukkan kertas)," kata Sugeng di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengungkap pihaknya kini menindaklanjuti laporan Sugeng dan tengah menaikkan status kasus Eddy Hiariej.
"Jadi terkait dengan pertanyaan teman-teman (dugaan korupsi Wamenkumham) dimaksud, perlu kami sampaikan saat ini semua proses penyelidikan oleh KPK itu sudah selesai dilakukan sebagai tindak lanjut dari laporan masyarakat yang diterima oleh KPK," kata Ali saat ditemui wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Senin (6/11/2023).
Lantas, apa itu gratifikasi hingga sanksi jika melanggarnya?
Baca Juga: KPK Tetapkan Empat Orang Tersangka Korupsi Pengadaan Katalis Pertamina
Pengertian Gratifikasi
Arti gratifikasi tercantum dalam penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bersama dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, istilah “gratifikasi” dalam ketentuan ini merujuk kepada pemberian dalam arti yang sangat luas. Pemberian yang termasuk adalah uanng, barang, potongan harga, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, akomodasi penginapan, perjalanan wisata, pengobatan gratis, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi ini dapat diterima baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dan dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan sarana elektronik.
Pada penjelasan pasal di atas terlihat bahwa pengertian gratifikasi bersifat netral dan tidak memiliki konotasi negatif atau tercela. Jadi tidak semua jenis gratifikasi bertentangan dengan hukum. Hanya gratifikasi yang memenuhi syarat-syarat yang dijelaskan dalam Pasal 12B yang dianggap melanggar hukum.
Dasar Hukum Gratifikasi
Merujuk pada laman Fakultas Hukum Umsu, berikut adalah dasar hukum Gratifikasi sesuai dengan ketentuan:
1. Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berbunyi: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap memberi suap, bila berkaitan dengan kedudukannya dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
2. Pasal 12C ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 227/PMK.09/2021 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Penjelasan Sanski
Pasal 12 UU No.20/2001:
1. Pelanggaran tersebut akan dikenai hukuman pidana penjara seumur hidup atau penjara dengan jangka waktu minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Selain itu, akan dikenakan denda dengan jumlah minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
2. Seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, walaupun mereka mengetahui atau mempunyai alasan yang wajar untuk menduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan dengan tujuan untuk mempengaruhi mereka agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
3. Seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan orang lain secara ilegal, atau dengan penyalahgunaan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, melakukan pembayaran, atau menerima pembayaran dengan pemotongan, atau untuk melakukan tugas tertentu untuk kepentingan pribadi mereka sendiri.