Sekitar 6 juta pengungsi dan keturunannya ini tinggal di kamp-kamp di Tepi Barat, Gaza, Lebanon, Suriah dan Yordania.
Setelah pertempuran terhenti di tahun 1948, Israel menolak para pengungsi kembali ke tanah mereka. Padahal, pengembalian pengungsi merupakan bagian dari perjanjian damai. Israel menolaknya dengan alasan bahwa kembalinya para pengungsi akan mengancam keberadaan warga Yahudi di negara tersebut.
Melihat konflik itu, Mesir khawatir ledakan sejarah Nakba akan terulang lagi dan pengungsi akan menetap selamanya di Gaza.
Mesir bingung dengan ketidakjelasan perang ini.
“Ketidakjelasan Israel mengenai niatnya di Gaza dan evakuasi penduduknya sendiri merupakan suatu permasalahan,” kata Riccardo Fabiani, Direktur Proyek Afrika Utara Crisis Group International.
“Kebingungan ini memicu ketakutan di lingkungan sekitar.”
Mesir meminta Israel untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza. Israel bilang mereka akan melakukannya, tapi tidak jelas. Israel tidak menyebut langsung kapan akan membuka jalur kemanusiaan itu.
Sementara itu, Mesir sedang menghadapi krisisnya sendiri yang menjadi semakin parah. Mereka juga harus menampung 9 juta pengungsi dan migran, termasuk 200 ribu warga Sudan yang melarikan diri dari perang.
“Semua preseden sejarah menunjukkan fakta bahwa ketika warga Palestina dipaksa meninggalkan wilayah Palestina, mereka tidak diizinkan untuk kembali,” kata HA Hellyer.
“Mesir tidak ingin terlibat dalam pembersihan etnis di Gaza.”
Pada saat yang sama, Mesir mengatakan bahwa eksodus massal dari Gaza akan membawa Hamas atau pasukan militan Palestina lainnya ke wilayahnya. Mesir khawatir hal itu bisa mengganggu stabilitas negara mereka.