Suara.com - Seruan untuk memboikot sejumlah merek yang mendukung agresi Israel ke Palestina menggema di media sosial. Beberapa warga bahkan membuat daftar panjang merek-merek dunia yang beberapa kali mengakui dan mendukung keberadaan Israel.
Beberapa di antaranya ialah Starbucks, McDonalds, hingga Coca Cola. Namun, sejumlah pihak meragukan kekuatan boikot dalam menekan Israel untuk menghentikan serangan ke Palestina.
Siang itu Ryan Fendi memilih gerai Starbucks, di salah satu mal Depok, Jawa Barat sebagai tempatnya bekerja. Ia memilih duduk di bagian luar sambil menghisap rokok elektronik di tangan kanannya. Di mejanya penuh dengan perangkat tablet, keyboard portabel, dan tentu saja gelas plastik berlogo Starbucks.
Di bagian dalam, hampir semua meja dipenuhi oleh pelanggan. Mereka sibuk dengan gawai di depannya. Mayoritas memilih Starbucks sebagai tempat bekerja. Sama halnya dengan Ryan Fendi.
“Kalau saya ke sini karena nyaman aja sih, sepi enggak berisik dibandingkan yang lain jadi tetep ke sini kalau kerja,” ucap Ryan Fendi kepada Suara.com.
Ryan memang mendengar seruan boikot terhadap merek kopi asal Amerika Serikat tersebut di media sosial. Meski demikian, ia justru khawatir seruan boikot di media sosial justru menjadi bumerang bagi para pekerjanya.
Berbeda dengan Ryan, AT yang saat itu juga asyik menyesap kopi Starbucks mengaku tidak tahu menahu perihal seruan boikot sejumlah merek di media sosial. Perempuan itu hanya tahu kabar serangan Israel ke Palestina.
Respon merek usai seruan boikot
Hingga kini Starbucks belum mengeluarkan respon terkait seruan boikot. Salah satu yang merespon seruan itu ialah McDonalds Indonsia.
Associate Director of Communications McDonald’s Indonesia Meta Rostiawati mengakui bahwa seruan boikot itu memang menjadi tantangan sendiri bagi bisnis waralaba di Indonesia.
Baca Juga: 5 Mainan Anak dan Bayi Buatan Israel yang Ada di Indonesia
Meski demikian, McDonald’s Indonesia saat ini lebih memprioritas hal lain daripada boikot tersebut. Meta menyebut bahwa saat ini pihaknya lebih memprioritaskan keamanan dan kenyamanan pelanggan serta pekerja mereka.
McDonald's Indonesia lakukan prioritas lain di tengah seruan boikot yang terjadi imbas dari konflik antara Israel dengan Hamas di Jalur Gaza. Diketahui, sebelumnya ramai seruan boikot terhadap restoran cepat saji itu akibat adanya aksi kontroversi dari McDonald's di Israel yang memberi makanan gratis kepada tentara dan warga Israel.
Meta menegaskan, McDonald’s Indonesia yang berada di bawah naungan PT Rekso Nasional Food, sebagai pemegang lisensi McDonald’s di Indonesia, juga menegaskan tidak terhubung dengan kegiatan operasional maupun keputusan McDonald's negara lain, termasuk yang ada di Israel.
Meta menyatakan kalau McDonald’s Indonesia hanya akan menyajikan hidangan disukai dan dipercaya oleh konsumen.
"Dedikasi kami sepenuhnya difokuskan untuk memberikan pengalaman bersantap yang disukai dan dipercaya pelanggan melalui pelayanan terbaik, menyajikan makanan dengan kualitas terdepan, serta terus berupaya memberikan kontribusi positif bagi komunitas dan masyarakat Indonesia - sejalan dengan filosofi 'Niat Baik, Hasil Baik’ yang diajarkan oleh pendiri kami," pungkas Meta.
Mengukur keberhasilan boikot
Profesor Manajemen dan Organisasi Lingkungan, Brayden King menyebutkan aksi boikot kerap kali tidak efektif karena ada faktor kebiasaan konsumen atau pelanggan produk tersebut. Padahal tujuan utama boikot, yaitu memberikan tekanan finansial pada perusahaan tersebut, dengan harapan bisa menekan pemerintah atau malah berbalik mendukung negara yang jajah yakni Palestina.
“Tetapi ternyata boikot biasanya tidak berhasil. Boikot yang biasa terjadi tidak berdampak banyak pada pendapatan penjualan," ujar Prof. Brayden mengutip Northwestern, Selasa (31/10/2024).
Menurut Prof. Brayden, sifat kebiasaan ini sulit untuk dipengaruhi karena kerap jadi kebutuhan sehari-hari dan sulit cari penggantinya dengan kualitas yang sama. Bahkan disebutkan juga, orang yang terbiasa melakukan boikot memang bukan target perusahaan tersebut untuk jadi konsumennya.
“Pikirkan aktivis PETA (organisasi hak asasi binatang) yang memboikot KFC. Itu adalah boikot yang tidak akan berdampak banyak pada pendapatan penjualan," jelas Prof. Brayden.
Tapi Prof. Brayden juga mencatat boikot bisa sangat efektif juga mendapat perhatian media, khususnya jika perusahaan tersebut diberitakan secara negatif, termasuk jika ada kebijakan yang dinilai tidak baik atau bahkan merugikan masyarakat maka dinilai akan sangat berdampak.
"Salah satu faktor yang membuat boikot efektif adalah seberapa besar perhatian media yang dihasilkannya, bukan berapa banyak orang yang menandatangani petisi atau berapa banyak konsumen yang dimobilisasi,” ujar Prof. Brayden.
Terakhir ia juga mendapati hasil penelitian menunjukan, boikot yang paling banyak diliputi media oleh perusahaan paling terkenal dinilai jadi yang paling efektif.
Biasanya kondisi ini terjadi karena boikot yang jadi berita utama alias headline, maka harga saham bisa turun sangat anjlok yang akhirnya menyebabkan perusahaan tersebut mengubah perilakunya.
Belajar dari Gerakan Boycott, Divestment, Sanctions (BDS)
Seruan boikot terhadap sejumlah pihak yang berkaitan dengan Israel sebenarnya tidak hanya terjadi di Indoensia. Di dunia juga ada gerakan global yang disebut dengan Boycott, Divestment, Sanctions (BDS). Mereka adalah gerakan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan yang dipimpin oleh warga Palestina.
Terinspirasi oleh gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan, seruan BDS mendesak tindakan untuk menekan Israel agar mematuhi hukum internasional. Seperti diketahui, selama hampir tujuh puluh tahun, Israel telah mengabaikan hak-hak dasar warga Palestina dan menolak mematuhi hukum internasional.
BDS menjunjung tinggi prinsip sederhana bahwa warga Palestina berhak atas hak yang sama seperti umat manusia lainnya. BDS kini menjadi gerakan global yang dinamis yang terdiri dari serikat pekerja, asosiasi akademis, gereja, dan gerakan akar rumput di seluruh dunia. Sejak diluncurkan pada tahun 2005, BDS telah memberikan dampak besar dan secara efektif menantang dukungan internasional terhadap apartheid Israel.
Salah satu kampanye BDS yang memberikan dampak ialah boikot merek Puma. Dalam pernyatannya BDS mengatakan, produsen pakaian olahraga global Puma terlibat dalam pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia. Puma adalah sponsor utama Asosiasi Sepak Bola Israel (IFA), yang mencakup tim-tim pemukiman ilegal Israel di tanah Palestina yang diduduki.
Selain itu, pemegang lisensi eksklusif Puma saat ini dan sebelumnya di Israel beroperasi di pemukiman ilegal Israel. Lebih dari 200 klub olahraga Palestina telah meminta Puma untuk mengakhiri kesepakatan sponsorship dan berhenti mendukung perampasan tanah ilegal yang dilakukan Israel.
"Puma memasarkan dirinya sebagai perusahaan yang peduli terhadap kesetaraan namun tetap mendanai apartheid yang didukung oleh IFA," ujar BDS dalam pernyatannya.
Kampanye boikot yang mereka lakukan berhasil. Asosiasi olahraga dan atlet Palestina telah meminta Puma untuk mengakhiri kesepakatan sponsorshipnya dengan Asosiasi Sepak Bola Israel.
Sementara itu, Qatar Sports Club telah mengonfirmasi tidak akan memperbarui kontrak dengan Puma. Universitas terbesar di Malaysia telah mengakhiri kesepakatan sponsorship dengan merek pakaian olahraga global Puma untuk tim sepak bolanya. Universitas mengonfirmasi bahwa kontrak tersebut tidak diperpanjang karena keterlibatan Puma dalam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel.
Menyusul puluhan ribu pesan ke klub sepak bola Inggris, Luton Town FC mencoret Puma, Forest Green Rovers FC berjanji untuk tidak menandatangani kontrak dengan Puma, dengan menyatakan bahwa Palestina mewakili "ketidakadilan terbesar", Chester FC memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan Puma, dengan alasan “praktik kerja yang etis " di antara kriterianya, dan Liverpool FC, yang sedang dalam pembicaraan dengan Puma, memilih sponsor lain.
Reporter: Fajar Ramadhan, Lilis Varwati, Dini Afrianti