Suara.com - Nama Pontjo Sutowo menjadi sorotan usai sengketa Hotel Sultan baru-baru ini. Pasalnya, hotel yang berada di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan ini telah resmi dimiliki kembali oleh pemerintah.
Hak Guna Bangunan (HGB) 30 tahun kepada Indobuild yang dimiliki oleh Pontjo Sutowo pun otomatis sudah tak berlaku lagi. Hal ini membuat Hotel Sultan saat ini dipenuhi spanduk bertuliskan "Aset Negara".
Lantas, siapakah Pontjo Sutowo? Pontjo Sutowo adalah anak keempat dari Ibnu Sutowo, mantan bos Pertamina yang lahir pada 17 Agustus 1950. Keluarga Sutowo sendiri dikenal sebagai keluarga konglomerat dengan sejumlah bisnis yang moncer di zaman Orde Baru.
Ia juga merupakan kakak dari Adiguna Sutowo, yang tak lain adalah ayah mertua Dian Sastrowardoyo.
Baca Juga: Keluh Kesah Pedagang Sekitar Usai Hotel Sultan Diminta Dikosongkan
Pontjo Sutowo mewarisi salah satu perusahaan milik sang ayah, Indobuildco, yang pada 1970-an membangun Hotel Sultan atas perintah Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin saat itu. Karena inilah ia dikenal sebagai pengendali Hotel Sultan.
Adapun bisnis awal Pontjo, pria yang pernah berkuliah di Institut Teknologi Bandung ini sebenarnya adalah pembuatan kapal. PT Adiguna Shipyard, berdiri pada 1970 dari modal pemberian ayahnya.
Sejak 1972 Adiguna Shipyard telah menghasilkan 500 kapal dengan bobot mati terbesar 3.500 DWT (deadweight tonnage). Ini membuat harta Pontjo pada tahun 2018 sebesar US$ 265 juta.
Di sisi lain, Pontjo Sutowo juga aktif berorganisasi. Dia pernah menjadi ketua umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Ia juga menjadi Ketua Umum Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI/Polri (FKPPI) periode 2021-2026.
Awal Sengketa Hotel Sultan
Baca Juga: Hotel Sultan Dipaksa Dikosongkan Hari Ini, Masih Adakah yang Menginap?
Kasus sengketa Hotel Sultan bermula saat Pemerintah DKI Jakarta menugaskan PT Pertamina yang kala itu dipimpin Ibnu Sutowo, ayah dari Pontjo Sutowo untuk membangun hotel bertaraf internasional dengan segala kelengkapannya pada 1971 lalu.
Pasalnya Ibu Kota kala itu akan mengadakan konferensi pariwisata se-Asia Pasifik dan akan dihadiri sekitar 3.000 orang. Namun rupanya hotel di kawasan GBK tersebut dibangun di bawah bendera PT Indobuildco.
Waktu berselang, pada 3 Agustus 1972, terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 181/HGB/Da/72 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tentang Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) kepada perusahaan Pontjo, Indobuildco untuk jangka waktu 30 tahun.
Kini Kementerian Sekretariat Negara (Kemsetneg) akhirnya mengambil alih dan mengelola sendiri Hotel Sultan. Direktur Umum PPKGBK Hadi Sulistio menyampaikan, pihaknya telah mengajukan beberapa kali somasi kepada Hotel Sultan untuk mengosongkan lahan Blok 15 GBK tersebut.