Bukan Kain Batik yang Jadi Warisan Budaya Tak Benda Unesco, Lalu Bagaimana?

Senin, 02 Oktober 2023 | 17:10 WIB
Bukan Kain Batik yang Jadi Warisan Budaya Tak Benda Unesco, Lalu Bagaimana?
Ilustrasi Batik(Pixabay/masbet)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Batik ditetapkan jadi warisan budaya tak benda oleh Unesco sejak 2 Oktober 2009. Sejak itu, tanggal 2 Oktober pun ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional. Namun, bila menganggap yang dijadikan warisan budaya merupakan kain batik, sebenarnya salah. 

Desainer batik sekaligus pegiat budaya Iwet Ramadhan menjelaskan bahwa batik itu sendiri yang menjadi warisan budaya tak benda, bukan sekadar kain dengan motif batik.

"Nomor satu, kenapa namanya warisan budaya tak benda? Kalau benda berarti kainnya, kalau tak benda itu filosofinya, cerita dibaliknya, kemudian tekniknya, pembatiknya. Itu yang harus disadari oleh orang-orang Indonesia," kata Iwet kepada wartawan, Senin (2/10/2023). 

Pengunjung melihat koleksi kain batik di Museum Batik Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Senin (2/10/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Pengunjung melihat koleksi kain batik di Museum Batik Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Senin (2/10/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan batik merupakan teknik membuat motif menggunakan canting atau cap serta pewarna malam. Sehingga, dia menegaskan kalau batik printing sebenarnya bukan batik karena tidak melewati proses pembuatan dengan canting atau pun cap, juga tidak diwarnai dengan malam.

Baca Juga: Jokowi Unggah Doodle Ucapan Hari Batik Nasional 2023, Warganet Malah Salah Fokus Sama Ilustrasi NCTzen

Maraknya batik printing  juga diakui oleh Iwet, memang harganya lebih murah dibandingkan batik cap maupun tulis. Tetapi, batik printing justru berisiko memusnahkan batik itu sendiri juga pembatiknya.

"Karena kalau pakai batik printing, pembatiknya musnah. Karena begitu pakai printing, pembatiknya tidak dibeli lagi produknya. Kalau tidak dibeli lagi produknya, mereka tidak membatik lagi. Maka kemudian pembatiknya musnah," ujar pria 42 tahun tersebut. 

Iwet Ramadhan [Instagram/@iwetramadhan]
Iwet Ramadhan [Instagram/@iwetramadhan]

Sehingga, menurut Iwet, memakai baju batik saja sebenarnya tidak cukup untuk melestarikan batik sebagai warisan budaya tak benda bagi Indonesia. Apalagi bila baju atau kain yang dipakai ternyata batik printing. 

Lebih bahaya lagi, lanjut Iwet, bila batik printing tersebut ternyata produksi dari luar negeri yang menjiplak motif batik asli Indonesia. 

"Konsumen tidak peduli, yang penting murah, yang penting pakai batik karena ada kewajiban memakai batik setiap Jumat, misalnya. Cuma kalau kita tidak beri kesadaran, kalau (batik) itu berasal dari filosofi, ya enggak bisa berkembang. Jadi peer kita bukan hanya membuat kain batik makin dikenal, tapi banyak orang paham kalau batik bukan sekadar kain," tuturnya.

Baca Juga: Deretan Batik Termahal di Indonesia

Itu sebabnya, Iwet selalu menyertakan filosofi secara detail pada setiap motif batik yang dia ciptakan. Sebab, menurutnya, batik tidak akan lepas dari filosofi serta cerita di balik motif tersebut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI