Suara.com - Batik diketahui kerap dibandrol dengan harga tinggi karena memang prosesnya yang rumit dan lama. Oleh sebab itu, masyarakat sebaiknya berhati-hati bila ditawari batik dengan harga relatif lebih murah dari harga pasaran, karena bisa jadi itu hanya batik printing.
Dewan Pembina Yayasan Batik Indonesia Prof. DR. Rahardi Ramelan menegaskan bahwa batik printing tentu saja bukan batik sungguhan karena tidak dibuat menggunakan canting dan malam.
"Memang banyak sekali batik printing karena memang harganya murah sekali," kata Prof. Rahardi ditemui wartawan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, memang sulit membedakan antara batik tulis atau batik cap dengan batik printing. Prof. Rahardi mengatakan, satu-satunya perbedaan paling mencolok memang terlihat dari harganya.
Baca Juga: 7 Potret Artis di 'Istana Berbatik': Dari Raffi Ahmad Hingga Keluarga Atta Halilintar
Sayangnya, Prof Rahardi mengatakan kalau dirinya juga pernah menemukan batik printing yang dibandrol mahal, menyerupai harga batik asli.
"Saya menemukan batik print bisa bolak-balik juga, orang asing suka gampang tertipu. Yang kita inginkan itu para pedagang ini jujur, tulis di pinggirnya kalau itu batik printing. Tapi ya cari yang jujur pedagang itu kan susah," imbuhnya.
Trik lainnya, kata Prof. Rahardi, batik printing biasanya mencetak bagian klowongan dasarnya. Kemudian, pewarnaannya baru dipakaikan dengan malam. Sehingga, kain akan tetap tercium bau malam.
Secara motif, batik printing juga bisa sangat menyerupai batik tulis atau pun cap. Prof. Rahardi mengungkapkan bahkan masih ada perusahaan yang lakukan produksi batik printing dan dijual secara bebas.
"Karena menurut undang-undang kebudayaan itu tidak terlalu jelas perlindungannya mengenai motif batik, yang disebut motif batik dan motif lainnya. Artikan tidak ada perbedaan, memang susah," ujarnya.
Baca Juga: Filosofi Batik Parang Jokowi di Istana Berbatik: Berani Perang dan Pantang Menyerah
Beredarkan batik printing tersebut bisa mengancam pelestarian batik asli sebagai budaya khas Indonesia. Terlebih, anak-anak muda milenial dan Gen-Z yang dinilai kurang berminat untuk berkarir sebagai pembatik.
"Saya harus akui, gen milenial dan gen z, harus kita buat edukasi satu sama lain. Membatik itu melestarikan warisan budaya. Seharusnya lebih dinilai," pungkas prof. Rahardi.