Kemudian di Abad Pertengahan, perempuan Katolik yang baik diharapkan membiarkan rambut tumbuh untuk menyimbolkan feminitas, walaupun tetap mesti disembunyikan di depan umum.
Di abad 14, perempuan akan mencabut rambut dari dahinya untuk mendorong garis rambut ke belakang dan wajah terlihat lebih lonjong.
Saat gagasan ini dipopulerkan, pada abad 19 ahli medis dan ilmiah menghubungkannya bulu tubuh dengan penyakit, kegilaan, dan kekerasan bernuansa kriminal. Namun konotasi ini sebagian besar disematkan pada tubuh perempuan, bukan laki-laki.
Profesor etik global di University of Birmingham Heather Widdows, menjelaskan hal itu membuat perempuan berpikir mereka harus bebas bulu untuk dianggap layak diperhatikan.
Awal abad 20 juga seiring dengan perkembangan industri mode, termasuk model busana tanpa lengan, membuat perempuan merasa perlu menghilangkan bulu di tubuhnya.