Suara.com - Keluarga Mario Dandy disebut enggan membayar resistusi sebesar Rp 120 miliar kepada David Ozora, atas kerugian penganiayaan hingga koma dan pengobatan panjang yang dijalaninya. Namun, apa sih resistusi itu?
Anggapan keluarga mantan pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu disebut enggan membayar mencuat setelah Kuasa Hukum Mario Dandy, Andreas Nahot Silitonga mengatakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tidak bisa sembarang meminta resistusi kepada keluarga kliennya, tanpa ada pernyataan bersedia membayarkan.
Ini karena Mario Dandy bukan pelaku kejahatan yang masuk kategori anak, tapi masuk kategori dewasa. Sedangkan resistusi bisa dibayarkan keluarga, jika pelaku kejahatan masuk kategori usia anak.
"Dan perlu dipahami bahwa Terdakwa Mario merupakan orang yang sudah cakap hukum, sehingga segala pertanggungjawaban dapat dimintakan kepada terdakwa," kata Andreas melalui keterangan kepada awak media, Selasa (4/7/2023).
Baca Juga: Momen Mario Dandy Menangis di Ruang Sidang, Bikin Hakim Marah
Sementara itu melansir situs Kementerian Hukum dan HAM, resisistusi diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Resistusi adalah persyaratan yang dibebankan aparat peradilan pidana atau diberikan sukarela pelaku yang berusaha memperbaiki kerugian atau kehilangan akibat tindak kejahatan yang dilakukan.
Pembayaran ganti rugi atau resistusi dibebankan kepada pelaku juga didasarkan pada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, atas kerugian material maupun immateril yang diderita korban atau ahli warisnya.
Sementara itu, karena korban David Ozora masih masuk usia anak, maka aturan resistusi secara khusus diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksaan Restitusi Anak Korban Tindak Pidana yang ditandatangani langsung presiden.
"Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana memudahkan anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mengajukan hak atas restitusi ke pengadilan yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas Kemen PPPA, Hasan melansir situs resmi KemenPPPA, Rabu (5/7/2023).
"PP juga semakin memudahkan aparat penegak hukum dalam tataran praktik atau pelaksanaan pemenuhan hak anak korban tindak pidana untuk mendapatkan restitusi,” lanjut Hasan
Baca Juga: Jadi Tersangka Lagi Kasus Pencabulan AG, Kubu David Ozora ke Mario Dandy: Maling Teriak Maling!
Hasan mengatakan, hadirnya PP Restitusi Anak Korban Tindak Pidana dinilai dapat mengurangi beban dari pihak korban, terutama keluarga dan sebagai bentuk tanggung jawab dari pelaku tindak pidana untuk mengganti kerugian, baik materiil maupun immateriil yang telah menyebabkan anak menderita.
“Walaupun masih PP, namun jelas mengatur apa yang harus dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, khususnya untuk membantu korban mendapatkan restitusi yang selama ini belum ada dan belum diatur,” pungkas Hasan.
Adapun permohonan restitusi bisa diajukan sebelum putusan pengadilan, melalui penyidik dan penuntut umum atau setelah putusan pengadilan yang dapat diajukan melalui LPSK. Bentuk tuntutan restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana atau penggantian biaya perawatan media atau psikologis.
Pihak yang dapat mengajukan resistusi, diantaranya orangtua atau wali anak korban tindak pidana seperti ahli waris anak korban tindak pidana, orang yang diberi kuasa oleh orangtua, wali atau ahli waris anak korban tindak pidana dengan surat khusus atau lembaga yang diberikan kuasa.