Namun karena terlalu banyak kasus perceraian yang terjadi dalam masyarakat, maka Taurat Musa mengizinkan perceraian dengan suatu syarat, bahwa suami yang menceraikan istrinya harus menulis surat cerai, dan menyerahkan kepada istrinya.
Sang istri yang diceraikan diperbolehkan menikah lagi (Ula 24:1-4), sehingga perceraian dengan menulis surat cerai adalah suatu perlindungan bagi para istri yang menjadi korban pernikahan yang tidak bertanggung jawab. Sekali lagi Tuhan Yesus menegaskan: ”Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak mula tidaklah demikian” (Matius 19:8).
Selanjutnya Tuhan juga mengatakan bahwa perceraian diizinkan kalau salah satu pihak berbuat zinah (Matius 5:32 ; 19:9). Hal ini bukan berarti bahwa kalau sang istri berbuat zinah, maka sang suami harus menceraikannya, atau sebaliknya sang istri harus menceraikan suami yang berzinah.
Tetapi maksud Tuhan adalah demikian: Kalau karena perzinahan, sehingga pernikahan mereka tidak dapat diteruskan lagi, maka perceraian diperbolehkan setelah mereka berusaha untuk memperbaiki pernikahan tetapi gagal.
Sesudah perceraian terjadi, kalau pihak yang tidak berzinah menikah lagi, di pandangan Tuhan ia tidak berdosa.