Suara.com - Penggunaan bahasa Indonesia di dunia terus bertumbuh seiring dengan penguatan peran ekonomi, politik, dan diplomasi kebudayaan Indonesia. Menurut data, bahasa Indonesia sendiri sejauh ini telah dipakai oleh lebih dari 300 juta penutur di dunia.
Akses bagi orang asing untuk dapat mempelajari bahasa Indonesia pun kian mudah ditemukan. Orang asing dapat secara formal mengikuti pendidikan bahasa Indonesia maupun belajar secara otodidak melalui internet.
Namun, bahasa Indonesia yang kerap diajarkan merupakan bentuk bahasa Indonesia baku dan justru jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari oleh penutur asli bahasa Indonesia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi orang asing yang baru mempelajari bahasa Indonesia, terutama saat berkomunikasi dengan penutur asli bahasa Indonesia.
Melihat fenomena ini, seorang ekspatriat dari Amerika Serikat, Brandon Possin, meluncurkan buku “Maksud Lo? A Guide to the “Real” Indonesian Language” untuk orang asing yang sedang mempelajari bahasa Indonesia.
Baca Juga: Ulasan Buku Kyai Tanpa Pesantren: Novel Menarik Tentang Pelajaran Spiritual
Pemilihan judul “Maksud Lo?” digunakan sebagai bentuk ekspresi kebingungan warga asing saat mendengar percakapan informal di Indonesia, terutama di kota besar seperti Jakarta.
Brandon telah tinggal di Indonesia selama lebih dari lima tahun. Selain menjadi seorang penulis, Brandon adalah seorang diplomat Amerika Serikat selama lebih dari 16 tahun. Berada di Indonesia dan bergaul dengan warga lokal telah memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan Brandon tentang bahasa Indonesia.
Meskipun telah mengikuti pendidikan bahasa Indonesia formal di U.S. State Department’s Language School di Virginia, A.S., Brandon mengalami kesulitan berkomunikasi dengan warga Indonesia, terutama saat berusaha mendengar dan memahami konteks pembicaraan warga Indonesia sehari-hari yang jarang menggunakan bahasa baku.
Dari situ, ia menyadari pentingnya menggunakan bahasa informal untuk percakapan sehari-hari. Hal ini juga yang menginspirasinya untuk meluncurkan buku ini.
Bahkan pengkhususan buku tersebut tidak terbatas dalam lingkup orang asing saja, melainkan Brandon turut meyakini bahwa buku panduan bahasa Indonesia informal tersebut dapat bermanfaat pula bagi penutur bahasa Indonesia yang belum terbiasa dengan bahasa populer yang biasa digunakan di kota-kota besar, terutama ibu kota Jakarta.
Baca Juga: Ulasan Buku 'Sungai yang Memerah', Membuka Ingatan dari Peristiwa G30S PKI
Buku “Maksud Lo?” ini telah banyak membantu warga asing yang datang ke Indonesia, seperti yang diakui oleh para anggota Outpost, sebuah komunitas travel dan remote working, saat beradaptasi di Indonesia. Dengan mempelajari bahasa Indonesia informal, para anggota dapat lebih mudah berkomunikasi dalam percakapan sehari-hari dengan warga lokal yang tidak seluruhnya menguasai bahasa Inggris dan tidak terbiasa berkomunikasi dengan bahasa baku.
Diungkapkan oleh Co-founder Outpost yang juga merupakan CEO dari Hacker Paradise, Bryan Stewart, buku ini telah membantunya untuk dapat menguasai bahasa Indonesia secara komprehensif. Pengetahuan mengenai bahasa Indonesia informal juga meningkatkan kepercayaan dirinya saat menuturkan bahasa Indonesia.
Bagian favorit Bryan dalam buku ini adalah panduan slangy text message yang biasa digunakan warga lokal dalam percakapan WhatsApp dan kamus Indonesian-English slang.
“Bahasa Indonesia informal merupakan bagian vital dari percakapan sehari-hari (di Indonesia). Dengan membaca dan mempelajari isi buku ini, saya bisa membangun hubungan yang lebih personal dengan warga lokal. Warga lokal pun terlihat lebih senang dan nyaman saat saya menggunakan bahasa informal. Maka dari itu, saya merekomendasikan buku ini bagi orang-orang yang ingin belajar tentang bahasa Indonesia informal,” ujarnya.
Ulasan tentang bahasa Indonesia informal dalam buku “Maksud Lo?” terdiri dari beberapa bagian. Dalam satu bab, Brandon memaparkan tentang akronim, singkatan, penyingkatan kalimat, kata kerja, kata benda, kata sifat, serta partikel dalam bahasa Indonesia yang mayoritas jarang ditemui dalam bahasa Indonesia baku. Salah satu contohnya adalah penggunaan kata “PD”, akronim dari percaya diri. Contoh lainnya adalah “salfok”, singkatan dari “salah fokus, yang berarti memperhatikan hal lain selain objek aslinya.
Selain itu, Brandon juga memberikan kamus kata informal dalam bahasa Indonesia yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Selain kamus kata, Brandon juga memberikan pengetahuan mengenai bahasa informal di beberapa kota-kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta (seperti “agan” yang berarti bos; kuy yang berarti ayo; nyolot yang berarti arogan), Bandung (seperti “aing” yang berarti saya dan “maneh” yang berarti kamu), Surabaya (seperti “bonek” yang berarti gila atau liar dan “nemen” yang berarti sangat), Makassar (seperti “issengi” yang berarti tidak tahu dan “tayangi” yang berarti tunggu sebentar), Yogyakarta (seperti “jeng” yang digunakan untuk memanggil perempuan dan “embah” yang berarti nenek, dan Cilacap (seperti “inyong/enyong” yang berarti saya).
Brandon juga membahas penggunaan bahasa hokkien dalam percakapan sehari-hari yang biasa digunakan di kota Jakarta dan Surabaya, seperti “gopek” yang berarti 500 rupiah serta penggunaan “gua” (saya) dan “lu” (kamu).
Pengetahuan-pengetahuan tersebut menjadi keunikan tersendiri bagi buku tersebut karena dapat mempermudah orang asing untuk mengerti konteks pembicaraan di masing-masing daerah yang berbeda dengan satu sama lain. Dengan mempelajari isi buku ini, orang asing diharapkan dapat lebih mudah membaur dengan warga lokal di Indonesia, terutama di kota-kota besar, serta memahami bahasa Indonesia dengan lebih mendalam.