Suara.com - Setelah tuai kritik karena pakai perhiasan emas berderet, Ibunda Ayu Ting Ting, Umi Kalsum kembali dapat cibiran dari warganet. Pasalnya, Umi Kalsum dinilai hanya memanfaatkan Ayu Ting Ting sebagai mesin ATM.
Berbagai cibiran ini muncul saat Umi Kalsum mengunggah Instagram story dirinya bersama Ayu Ting Ting. Dalam unggahan tersebut, Umi Kalsum tampak memberikan semangat kepada putrinya dalam mencari uang.
"Anak ibu cantik, semangat ya besok mulai cari uang lagi ya nak," tulis Umi Kalsum di Instagram Story dan diunggah ulang akun Lambe__Danu, Senin (8/5/2023).
Warganet yang melihat unggahan tersebut lantas menilai kalau Umi Kalsum hanya memanfaatkan Ayu Ting Ting untuk mencari uang. Padahal, pelantun lagu Alamat Palsu itu diketahui baru pulang dari Korea Selatan.
Meski banyak cibiran, beberapa warganet lainnya terlihat membela. Menurut sebagai warganet, itu adalah cara anak dalam membahagiakan orang tuanya. Hal ini karena warganet menilai itu adalah kewajiban anak dalam memberi uang kepada orang tua.
"ATT diperas emaknya secara halus. Dijadikan mesin ATM," timpal @yec*****
"Kasihan si Ayu cuma dijadikan mesin ATM sama emaknya," kata @lyn*****.
"Semangat dan bahagiain keluarga Ayu. Keinginan mulia membahagiakan orangtua, insya Allah rezekinya lancar," ucap @mrs*****.
Mengutip NU Online, dalam Islam sendiri Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berbakti kepada kedua orang tua. Perintah ini disebutkan langsung antara lain di dalam Surat Luqman ayat 14-15. Setiap orang dipertintahkan membantu kedua orang tuanya selagi mampu sebagai bentuk bakti. Bahkan, hal ini diwajibkan bagi mereka yang mampu.
"Kedua orang tua wajib dinafkahi oleh anaknya dengan syarat antara lain kelapangan rezeki anak yang bersangkutan. Batasan kelapangan rezeki adalah mereka yang memiliki kelebihan harta setelah menutupi kebutuhan makanan pokok dirinya dan anak-istrinya sehari-semalam itu di mana kelebihan itu dapat diberikan kepada kedua orang tuanya. Jika anak itu tidak memiliki kelebihan harta, maka ia tidak berkewajiban apapun atas nafkah kedua orang tuanya lantaran kesempitan rezeki yang bersangkutan." (Lihat Taqiyudin Abu Bakar Al-Hushni, Kifayatul Akhyar, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2001 M/1422 H, halaman 577).
Meski demikian, tidak berarti setiap anak harus memberikan nafkah kepada orang tuanya. Hal ini tergantung dengan kondisi dari orang tua anak tersebut.
"(Adapun orang tua wajib dinafkahi) oleh keturunannya (dengan dua syarat) atau salah satunya, yaitu ([pertama] kefakiran dan penyakit kronis) tertimpa musibah atau bencana [yang mencegahnya berusaha-pen], ([kedua] kefakiran dan kegilaan) karena riil hajat mereka ketika itu. Dari sini anak-keturunannya tidak wajib menafkahi orang tua yang fakir dan sehat; atau fakir dan waras meskipun mereka memiliki usaha/pekerjaan karena kemampuan berusaha/bekerja setara dengan potensi memiliki harta. Jika mereka tidak memiliki usaha, anak-keturunan mereka wajib menafkahinya, menurut pendapat lebih zhahir di Raudhah dan tambahan di Minhaj. Anak-keturunan diperintahkan bergaul dengan orang tuanya secara baik. Bukan termasuk kategori pergaulan baik kalau anak-keturunan membiarkan orang tua yang sudah renta/kakek-neneknya berusaha/bekerja." (Muhammad bin Ahmad As-Syarbini, Al-Iqna’ pada Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996 M/1417 H, juz IV, halaman 439-440).
Oleh sebab itu, sebenarnya yang diwajibkan dalam Islam lebih kepada bagaimana anak berbakti dengan orang tuanya. Sementara untuk memberikan nafkah dalam besaran tertentu kepada orang tua tidak harus dipaksakan.
Pemberian nafkah ini juga bisa dilihat dari keuangan orang tuanya. Apabila kereka membutuhkan, lalu anak mampu, maka wajib memberinya nafkah. Namun, jika orang tua mampu, anak tidak wajib memberi nafkah, tetapi berbakti kepadanya yang diutamakan.