Suara.com - Peristiwa penembakan yang terjadi di kantor MUI Pusat, Jakarta Pusat, Selasa (3/5/2023) membuat heboh masyarakat. Rupanya, motif pelaku penembakan berinisial H alias Mustofa ini adalah demi mendapat pengakuan sebagai wakil nabi.
Hal ini diungkapkan oleh Kapolres Pesawaran, AKBP Pratomo Widodo saat melakukan pemeriksaan kepada istri pelaku. Dalam keterangannya pelaku pamit kepada istri untuk meminta pengakuan sebagai wakil nabi dari MUI.
"Berdasarkan keterangan istrinya, bahwa pelaku pamit dengan istrinya ke MUI Jakarta untuk minta pengakuan sebagai wakil nabi," katanya di Pesawaran, Selasa (2/5/2023) malam.
Pelaku sendiri merupakan seorang petani. Sang istri jiga menegaskan, suaminya itu tidak terlibat jaringan teroris apapun. Bahkan, pelaku memang sudah mengaku sebagai wakil nabi sejak sebelum menikah.
Baca Juga: Kutuk Keras Aksi Penembakan Kantor MUI Pusat, PPP ke Polisi: Transparan dan Usut Secara Profesional
"Tahun 1999 dia mengumpulkan orang ke rumahnya dan mengatakan bahwa dia adalah wakil nabi. Namun orang-orang tidak percaya bahwa dia wakil nabi. Dari sejarahnya intinya pelaku ini halusinasi," katanya.
Dalam psikologi, seseorang yang berhalusinasi menjadi sosol hebat atau tidak realistis dikenal dengan nama megalomania atau waham. Psikolog Klinis Ohana Space, Marissa Meditania, M.Psi., Psikolog mengatakan, kondisi megalomania akan membuat orang merasa dirinya lebih baik dengan orang lain layaknya narsistik.
Orang tersebut akan merasa punya kekuasaan akan sesuatu. Mereka merasa dirinya lebih baik karena kekuasaan tersebut. Namun, biasanya hal tersebut merupaman sesuatu yang tidak realistis.
"Megolamania ini merasa dirinya ini lebih baik daripada orang lain sama seperti narsistik. Nah megalomania ini bentuknya itu ngerasa punya power terus lebih berkuasa gitu, terkadang akhirnya tidak realistis atau tidak nyata," jelas Marissa saat dihubungi Suara.com beberapa waktu lalu.
Marissa menjelaskan, sosok yang diinginkannya itu hanya dibuat-buat oleh pemikirannya sendiri. Oleh sebab itu, hal tersebut tidak realistis karena sangat berbeda.
Baca Juga: Kecam Aksi Penembakan di Kantor MUI, PP Pemuda Katolik Minta Masyarakat Tidak Terpancing
"Jadi sesuatu yang dibuat-buat dalam pikirannya sendiri. Ini kecenderungan sudah tidak realistis gitu, udah terlalu tidak nyata gitu," sambungnya.
Di sisi lain, kondisi serupa juga bisa disebut waham kebesaran. Marissa menuturkan, kondisi waham membuat penderita meyakini sesuatu yang bersifat semu. Padahal, bukti-bukti nyatanya sudah ada. Kondisi waham ini biasanya dapat menjadi sebuah gejala dari gangguan psikologi lainnya.
"Kadang kita nyebutnya ini sebagai waham kebesaran. Waham kebesaran ini itu bisa menjadi sebuah gejala dari berbagai gangguan psikologi lainnya, kayak gangguan bipolar, delirium, delusi, hingga skizofrenia," pungkas Marissa.