Sejarah Hisab dan Rukyatul Hilal dalam Penentuan Hari Besar Islam

M Nurhadi Suara.Com
Selasa, 18 April 2023 | 14:44 WIB
Sejarah Hisab dan Rukyatul Hilal dalam Penentuan Hari Besar Islam
Tim rukyatul hilal Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan, meneropong posisi bulan (hilal) saat rukyatul hilal, guna menentukan 1 Ramadhan 1435 H, di Pamekasan, Jatim, Jumat (27/6). [Antara/ Saiful Bahri]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah dan organisasi Islam Muhammadiyah kemungkinan besar akan menetapkan Idul Fitri 1444 Hijriah di hari yang berbeda. Jika Muhammadiyah telah meneken maklumat Idul Fitri 2023 pada Jumat, 21 April, pemerintah melalui Kementerian Agama masih akan menunggu keputusan sidang isbat.

Perbedaan penentuan Idul Fitri ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah hisab dan rukyatul hilal, dua metode perhitungan berbeda yang digunakan oleh Muhammadiyah dan Kementerian Agama. 

Muhammadiyah menggunakan metode hisab untuk menentukan jatuhnya bulan baru. Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Agama menggunakan metode rukyatul hilal. Dua metode ini memiliki sejarah yang berbeda dalam penentuan Idul Fitri. 

Melansir tarjih.muhammadiyah.or.id, hisab secara bahasa berarti perhitungan atau pemeriksaan. Dalam bidang fikih menyangkut penentuan waktu-waktu ibadah, hisab digunakan sebagai dasar perhitungan waktu dan arah tempat, seperti penentuan waktu salat, puasa, idul fitri, haji, dan waktu gerhana untuk melaksanakan salat gerhana, serta penetapan arah kiblat agar dapat melaksanakan salat dengan arah yang tepat ke kakbah.

Baca Juga: Bagaimana Hukumnya Jika Zakat Fitrah Via Transfer?

Penetapan waktu dan arah tersebut dilakukan dengan perhitungan terhadap posisi-posisi geometris benda-benda langit khususnya matahari, bulan, dan bumi.

Pada zaman Nabi Saw ilmu yang mengkaji benda-benda astronomi belum berkembang. Pengetahuan masyarakat Arab mengenai benda-benda langit pada saat itu lebih banyak bersifat pengetahuan perbintangan praktis untuk kepentingan petunjuk jalan di tengah padang pasir di malam hari. 

Mereka belum mempunyai pengetahuan canggih sebagaimana telah dikembangkan oleh bangsa-bangsa Babilonia, India dan Yunani. 

Sehingga, penentuan waktu-waktu ibadah, khususnya Ramadan dan idul fitri, pada masa Nabi Saw didasarkan kepada rukyat fisik, karena inilah metode yang tersedia dan paling mungkin dilakukan di zaman tersebut.

Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hisab dan astronomis kemudian berkembang sejak budaya penerjemahan ilmu-ilmu pengetahuan yang juga diadopsi oleh Islam. Di Indonesia pelopor penerapan hisab adalah pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. 

Baca Juga: Melihat Perayaan Malam 7 Likur yang Masih Istimewa di negeri Lingga

Metode Rukyat

Di samping hisab, metode yang sering digunakan dalam penentuan idul fitri adalah rukyat, atau mengamati secara langsung baik menggunakan mata atau teropong penampakan hilal setelah matahari terbenam. Untuk menghindari bias, rukyat biasanya dilakukan di sejmlah titik untuk menghindari bias. 

Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maqrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru hijriah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maqhrib hari berikutnya.

Namun, pada kenyataannya hilal tidak selalu terlihat apalagi jika selang waktu terbenamnya matahari terlalu pendek karena iluminasi cahaya bulan masih terlalu suram dibandingkan cahaya langit sekitarnya.

Kendati demikian, rukyat dan hisab menurut Kementerian Agama merupakan dua metode yang saling melengkapi. Laporan rukyat digunakan sebagai konfirmasi atas informasi hitungan hisab sehingga kedua pendekatan ini digunakan untuk saling melengkapi.

Terlebih, fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah dengan dua metode, yaitu hisab dan rukyat.

Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI