Suara.com - Banyak pasangan suami istri kerap sulit menahan hawa nafsu untuk hubungan seks meski tengan puasa. Pertanyaannya kemudian, bagaimana hukumnya dalam Islam?
Dalam aturan Islam, pasangan suami istri muslim dilarang melakukan hubungan seksual selama masih dalam waktu puasa pagi hingga petang di bulan Ramadhan. Bila dengan sengaja melanggar aturan tersebut, ternyata ada 'hukuman' yang harus dijalankan.
Dikutip dati situs NU Online, orang yang sengaja merusak puasanya di bulan Ramadhan dengan senggama atau hubungan seksual, wajib menjalankan kafarat besar atau denda.
Ada urutan kafarat yang harus dilakukan. Yakni, pertama, harus memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, tak boleh yang lain. Sahaya itu juga harus bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya.
Baca Juga: Ziarah Kubur sebelum Puasa Ramadan, Boleh atau Tidak? Berikut Ini Uraian dari Ustadz Abdul Somad
Kedua, jika tidak mampu, harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ketiga, jika tidak mampu, harus memberi makanan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud (kurang lebih sepertiga liter).
Aturan kafarat itu berdasarkan hadits sahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dengan arti, "celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Beliau (Rasulullah) bersabda, 'Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan'. Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (HR al-Bukhari).
Atas dasar itu pula, para ulama fiqih, terutama ulama fiqih Syafi‘i, sepakat untuk menetapkan kafarat tersebut.
Adapun jenis pelanggaran yang dimaksudkan, sebagaimana dijelaskan dalam buku Kâsyifah al-Sajâ (Terbitan Darul Ihya, Cetakan pertama, Tanpa tahun, halaman 112), Syekh Nawawi al-Bantani merinci sebelas persyaratan jatuhnya kifarah ‘udhma.
Berikut adalah sebelas persyaratan dimaksud disertai penjelasan secukupnya dari kitab Asnâ al-Mathâlib fî Syarh Raudh al-Thâlib karya Syekh Zakariya ibn Muhammad ibn Zakariya al-Anshari.
- 1. Kewajiban kifarah ‘udhma dijatuhkan kepada orang yang sengaja menyenggama melalui kemaluan atau anus. Sedangkan kepada orang yang disenggama tidak dijatuhkan, baik laki-laki maupun perempuan.
- Kafarat tidak dijatuhkan kecuali kepada orang yang merusak puasanya dengan senggama, dilakukannya secara sengaja, menyadari sedang berpuasa, tahu keharamannya, kendati dirinya tidak tahu kewajiban kafarat itu. Sehingga, jika ia merusak puasanya terlebih dahulu dengan yang lain, seperti makanan, kemudian bersenggama, maka tidak ada kafarat baginya.
- Merusak sendiri ibadah puasa. Selain ibadah puasa, seperti ibadah salat atau i'tikaf, tidak ada kewajiban kafarat.
- Yang dirusak adalah puasa diri sendiri. Berbeda halnya jika yang dirusak adalah puasa orang lain, seperti seorang musafir atau orang sakit merusak puasa istrinya.
- Senggama dilakukan di bulan Ramadan, walaupun masuknya bulan Ramadan karena hasil pengamatan diri sendiri terhadap hilal atau karena informasi orang yang dipercaya.
- Kafarat dijatuhkan karena aktivitas senggama meskipun aktivitasnya berupa anal seks, baik dengan manusia, dengan mayat, maupun dengan hewan, walaupun tak sampai keluar sperma. Berbeda halnya dengan aktivitas seksual yang lain, seperti onani, masturbasi, dan oral seks walaupun hingga keluar sperma. Maka beberapa aktivitas seksual terakhir ini tidak mewajibkan kafarat.
- Membatalkan puasanya dengan senggama. Berbeda halnya jika masih anak-anak atau orang yang musafir dan orang sakit, lalu keduanya bersenggama karena merasa memiliki keringanan. Pasalnya, mereka tidak berdosa dengan senggama mereka.
- Dosa senggama pelaku hanya karena puasa.
- Yang dirusak haruslah puasa sehari penuh dan pelakunya dikategorikan sebagai orang yang wajib berpuasa dalam sisa hari setelah senggamanya. Sehingga, orang yang pada suatu hari bersenggama tanpa ada alasan kemudian mengalami tunagrahita atau meninggal dunia pada sisa hari tersebut, berarti ia tidak dianggap merusak sehari penuh.
- Waktu yang dipakai untuk bersenggama tidak samar dan tidak diragukan. Berbeda halnya jika ia mengira waktu masih malam, waktu sudah masuk malam, atau meragukan salah satunya, namun ternyata waktu sudah siang atau masih siang. Begitu pula bila ia makan karena lupa, lantas mengira puasanya sudah batal, lalu bersenggama secara sengaja. Maka tidak ada kafarat.
- Senggama yakin dilakukan di bulan Ramadhan. Berbeda halnya jika pelaku tidak yakin dirinya sudah memasuki bulan Ramadhan, kemudian ia berpuasa dengan hasil ijtihadnya dan membatalkan puasanya dengan senggama, namun ijtihadnya ternyata salah, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya.