Suara.com - Baru-baru ini viral di media sosial mengenai peraturan di Nusa Tenggara Timur yang mengharuskan murid untuk masuk sekolah jam 5 pagi. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat ini lantas menuai banyak pro dan kontra dari masyarakat.
Pasalnya, aturan tersebut membuat dinilai terlalu pagi untuk anak sekolah. Sementara itu, Viktor sendiri mengatakan, kalau itu semua sudah sesuai jika anak tidur dari jam 10 malam. Menurutnya, anak bisa bangun jam 4 dan mempersiapkan waktu untuk berangkat ke sekolah.
"(Siswa) SMA dia tidur jam 10 malam, 11-12-1-2-3-4, jam 4 bangun. Mandi setengah jam, setengah jam ke sekolah, ini kan di kota, 30 menit sampai," ujar Viktor dalam video YouTube dilihat suara.com, Selasa (28/2/2023).
Masyarakat sendiri membuat banyak protes. Hal ini karena itu tidak hanya berdampak pada anak sekolah, tetapi lingkungannya. Menurut beberapa yang protes, kebijakan tersebut juga memengaruhi orang tua anak yang harus mempersiapkan kebutuhannya.
Baca Juga: Pihak FSGI Nilai Aturan Pergi Sekolah Jam 5 Pagi Kebijakan yang Tidak Tepat
Menanggapi kebijakan tersebut, Psikolog Klinis Anak & Remaja di Ohana Space, Kantiana Taslim, M.Psi., Psikolog mengatakan, adanya hal itu dapat memberikan dampak yang bermacam-macam. Pasalnya, itu akan memiliki pengaruh yang berbeda ke setiap individu.
Menurut Kantiana, dalam menerapkan regulasi, secara profesional harus melalui penelitian, riset untuk mengetahui apakah aturan itu dapat memberikan dampak baik atau tidak.
“Aturan yang dibuat itu memiliki pengaruh ke individu masing-masing. ketika menerapkan regulasi tertentu, secara profesional harus dilihat dari riset terdahulu atau penelitian yang ada idealnya untuk dilihat apakah aturan tersebut ada dampak tertentu yang memengaruhi performa belajar, motivasi, kualitas tidur, kualitas kesehatan dan lain-lain,” jelas Kantiana saat dihubungi Suara.com, Rabu (1/2/2023).
Pentingnya riset tersebut karena menurut Kantiana, meski sudah masuk ke bangku SMA, mereka masih berada di fase transisi menuju dewasa atau remaja. Oleh sebab itu, aturan itu juga butuh dukungan karena memengaruhi keluarga, dirinya sendiri, juga lingkungan sekitarnya.
“Kita enggak bisa memungkiri walaupun anaknya sudah SMA, ini kan transisi dari anak-anak ke dewasa. Anak SMA ini masuk ke dalam batas lingkup remaja yang tentunya perlu disupport lingkungan sekitarnya, sekolah keluarga, atau lingkungan terdekat,” jelas Kantiana.
Baca Juga: SMA di Kupang Mulai Kegiatan Sekolah Pukul 05.30, Siswa Sulit Akses Transportasi Umum
Menurut Kantiana, kebijakan tersebut harus memperhatikan bagaimana anak berangkat ke sekolah. Selain itu, karena langit masih gelap juga diperhatikan keamanan anak.
Belum lagi, kalau ada anak yang perlu bawa bekal dari rumah. Itu bisa membuat keluarga juga harus menyesuaikan dengan keadaan.
“Kalau berangkatnya juga harus diperhatikan. Terus keamanan anak juga harus diperhatikan. Itu dasar anak berkembang. Belum kalau orang tua juga harus nganter, dan mereka juga harus bekerja. Lalu anak-anak juga harus bawa bekal, berarti keluarga yang siapkan harus bangun lebih pagi,” ucapnya.
Oleh sebab itu, pembuat kebijakan juga harus bisa mengevaluasi dampak yang ditimbulkan, apakah baik atau buruk. Hal ini karena dampak tersebut tak hanya memengaruhi anak, tetapi keluarga dan lingkungan sekitarnya.
“Kebijakan ini ya harus melakukan evaluasi dampaknya, karena ini kan bukan hanya memengaruhi anak, tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitarnya,” pungkas Kantina.