Suara.com - Indra Bekti dan Aldila Jelita ternyata telah mantap bercerai. Pasangan itu bahkan telah menentukan pembagian harta gono gini hingga hak asuh anak.
"Hak asuh anak sudah disepakati ada di Dila. Sedangkan harta gono gini akan dibagi dua," kata kuasa hukum Aldila Jelita, Milano Lubis di apartemen Brawijaya, Jakarta pada Senin (27/2/2023).
Bahkan, kesepakatan itu dibuat dalam perjanjian tertulis yang juga ditandatangani mereka berdua.
"Ada pernyataannya kok, perjanjian kesepakatan," kata Milano Lubis.
Baca Juga: Pasca Digugat Cerai Aldila Jelita, Indra Bekti Lakukan Medical Chekup Sendirian
Harta gono gini berarti harta benda yang diperoleh suami dan istri selama masa perkawinan. Dalam perundang-undangan aturan itu tertulis dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan.
Lewat pasal tersebut, negara juga mengatur bahwa apabila perkawinan putus, maka harta bersama itu diatur menurut hukumnya masing-masing, dalam arti hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.
Gugatan harta gono gini tersebut bisa dilakukan bersamaan dengan sidang perceraian maupun setelah adanya putusan perceraian.
Sementara itu dalam Islam ternyata tidak disebutkan aturan mengenai harta gono-gini. Dikutip dari situs Nu Online, harta Gono gini tidak disebutkan dalam Al-Qur'an, hadits, maupun kitab-kitab Fiqh. Harta gono-gini juga tidak pernah ada dalam sejarah Islam sebelumnya.
Tokoh Ulama NU, yang jiga mantan Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menulis bahwa terkait gono-gini memperoleh keabsahannya dari seorang ulama Indonesia terkemuka dari Banjarmasin, Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari, penulis kitab Sabilal Muhtadin.
Baca Juga: Aldila Jelita Akhirnya Gugat Cerai Indra Bekti, Sempat Ngaku Dongkol karena Dibohongi
Di Banjar, pembagian waris seperti ini telah berjalan lama dan disebut “adat perpantangan”. Dalam masyarakat Aceh tradisi itu juga telah berlangsung lama yang disebut harta “seuharkat”.
Jadi menurut Gus Dur, adat perpantangan ini nyata sekali merupakan sebuah hasil pemikiran kontekstual yang memperhitungkan masyarakat adat yang harus hidup dari kerja di atas sungai, baik berdagang maupun mengail atau menjala ikan.
Pekerjaan ini tidak bisa hanya dilakukan oleh seorang suami saja, tetapi harus dilakukan oleh suami dan isteri secara bersama-sama dengan jalan membagi peran atas pekerjaan itu. Penetapan hukum berdasarkan alasan adat istiadat masyarakat mendapatkan landasan teori fiqih yang cukup banyak. Antara lain kaidah fiqih yang berbunyi, "adat/tradisi dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syara’.”
Kaidah hukum ini tentu saja mengharuskan adanya kesesuaian dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama atau maqashid al syari’ah (cita-cita agama).