Suara.com - Pemimpin Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al Fatah Yogyakarta, Shinta Ratri, meninggal pada Rabu (1/2/2023) pagi. Kabar ini dibenarkan Manajer Program Yayasan Kebaya Rully Mallay. Ia mengatakan Shinta sempat mengeluh sakit asam lambung.
Shinta disebutnya, dilarikan ke Rumah Sakit Hidayatullah. Adapun sebelum meninggal, pihak keluarga terakhir kali membawanya ke RSUD Kota Yogyakarta, pada Senin (30/1/2023). Ia dikatakan dimakamkan siang ini sekitar pukul 14.00 di Kotagede.
Diketahui bahwa Shinta Ratri adalah seorang transpuan yang mendirikan pondok pesantren khusus waria di Yogyakarta. Lantas, seperti apa profil sekaligus perjalanannya bersama ponpes itu? Berikut informasinya.
Profil Shinta Ratri
Shinta Ratri lahir di Kota Yogyakarta dengan nama Tri Santoso Nugroho. Ia tumbuh di lingkungan keluarga pedagang kerajinan di Kotagede hingga membuatnya sudah berwirausaha sejak masih duduk di bangku SMA.
Meski lulus sebagai sarjana biologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Shinta Ratri memilih menjadi pengusaha kerajinan perak. Di sisi lain, sosoknya ini juga dikenal aktif dalam membela para transpuan.
Tepatnya agar mereka menerima haknya dalam beribadah. Oleh karena itu, Shinta Ratri mendirikan Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al-Fatah di Yogyakarta. Ia pun lantas dipercaya untuk memimpin tempat yang menampung puluhan waria itu.
Atas dedikasinya, Shinta pada 2019, diberi penghargaan oleh Front Line Defenders, organisasi internasional untuk perlindungan pembela hak asasi manusia (HAM) yang berbasis di Irlandia. Ia dijuluki sebagai pejuang HAM di kawasan Asia Pasifik.
Dalam pondok pesantren itu, Shinta bersama puluhan waria lainnya berupaya mencari Tuhan untuk mengejar hak beribadah. Di sana, mereka menerima bimbingan, salah satunya dari ustaz Arif Nuh Safri.
Mereka juga berkunjung ke pesantren lain untuk berbagi ilmu. Tak hanya itu, di ponpes ini, ada aktivitas lain yang diikuti para waria. Di antaranya, pelatihan membuat kerajinan tangan oleh para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.
Nasib apes pun kerap dialami Pondok Pesantren Al-Fatah. Pada Februari 2016, tempat itu sempat disambangi dan diprotes FJI (Front Jihad Islam). Mereka meminta Shinta dan yang lainnya bertobat kembali menjadi pria.
Shinta dan rekan-rekannya juga dituduh hendak menyebarkan hal-hal buruk. Mulai dari perkawinan sejenis, menjadi tempat mabuk berkedok pesantren, hingga ajaran sesat. Namun, momen tersebut berujung berkah bagi mereka.
Ustaz Arif bersama sejumlah aktivis sosial, Komnas Perempuan, hingga anggota DPR RI membela para waria itu dan melawan sikap FJI. Akhirnya, sampai sekarang, Ponpes Al-Fatah Yogyakarta masih menjadi tempat bernaung puluhan waria.
Terlebih bagi mereka yang mengalami keterbatasan untuk berusaha dekat dengan Tuhannya di ruang publik. Disebutkan, para waria itu juga berhak beribadah dan menyembah Tuhan sesuai dengan agama yang diyakini.
Di sisi lain, Shinta saat lulus SMA sempat diajak berdiskusi oleh keluarganya. Ia ditanya apakah akan melanjutkan hidup sebagai waria selamanya. Awalnya, ia marah dan sedih karena merasa diadili.
Ia kemudian berkata bahwa dirinya tidak pernah berharap untuk menjadi waria karena hanya menjalankan panggilan jiwa. Atas dasar ini, keluarga Shinta pun menerima dan memperlakukannya sebagai wanita hingga akhir hayatnya.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti