Suara.com - Aktivis waria Indonesia Shinta Ratri dikabarkan meninggal dunia hari ini, Rabu (1/2/2023) dalam usia 61 tahun. Kabar tersebut dibagikan oleh rekan sesama aktivis Amar Alfikar lewat akun Twitter pribadinya.
"Shinta Ratri, aktivis HAM, perintis waria Muslim di Indonesia, dan kepala sekolah waria di Yogyakarta, meninggal dunia hari ini," tulis Amar, dikutip suara.com pada Rabu (1/2/2023).
Namun, ia tidak menyebut penyebab meninggalnya pendiri Pondok Pesantren Waria Al-Fatah di Yogyakarta tersebut. Amar berdoa agar kematian Shinta diberkati Tuhan.
"Semoga jiwanya diberkati, dan perjuangannya dilanjutkan oleh orang lain," pungkasnya.
Baca Juga: Pemerhati Anjing Laporkan Aktivis Lainnya Karena Unggahan di Facebook
Sosok Shinta Ratri dikenal sebagai sosok transpuan yang sering menyuarakan hak orang-orang yang mengalami perubahan gender seperti dirinya.
Membangun Ponpes Al-Fatih di Yogyakarta jadi salah satu bukti perjuangannya kepada kaum waria agar tetap bisa beribadah dan menimba ilmu agama. Berikut sejumlah fakta tentang Shinta Ratri juga Ponpes Waria Al-Fatih yang didirikannya.
1. Ada Puluhan Santri Waria
Ponpes yang dibangun pada 2014 itu telah memiliki lebih dari 40 santri yang kebanyakan waria. Mereka secara intensif berusaha untuk bisa berbaur dengan masyarakat termasuk mengisi ilmu agama juga pengetahuan.
Kegiatan agama biasanya dilakukan pada hari Minggu dan Senin. Hari Minggu untuk pembelajaran Al-Quran, sementara Senin untuk waria yang masih dalam tahap pembacaan iqro'. Namun, kegiatan tersebut sempat terhambat saat awal pandemi Covid-19 lalu.
Baca Juga: Aktivis Jeneponto Henri Jatong Ditikam di Dada, Pelaku Diduga Anak Kepala Desa
"Tak dipungkiri memang kami masih banyak belajar. Aktivitas sebelum ada wabah, tiap Minggu dan Senin tempat ini selalu ramai dengan pembelajaran agama. Sekarang aktivitasnya dilakukan secara daring," kata Shinta saat ditemui Juni 2020 lalu.
2. Alasan Membuat Ponpes Waria
Pembangunan Ponpes Al-Fatih khusus waria memang sempat menimbulkan kontroversi. Meski begitu, Shinta tetap mantap dengan niatnya.
Ia mengatakan, manusia tidak bisa memilih jenis kelamin saat dilahirkan. Menuritnya, kebanyakn waria lahir sebagai laki-laki namun memiliki kodrat sebagai perempuan. Kondisi itu membuat beberapa orang atau keluarganya tidak bisa menerima keadaan mereka sehingga para waria memilih pergi dari lingkungannya.
"Konflik ini yang berbahaya, dia kehilangan banyak termasuk budi pekerti mungkin, dan terutama kehilangan agama. Maka dari itu saya membangun ponpes ini agar mereka tetap pada jalur agama yang mereka anut," ungkap dia.
3. Mengutamakan Akhlak
Stigma sebagai transgender sudah melekat pada masing-masing santri dan tak banyak orang yang bisa memahami keadaan mereka. Bahkan dipandang negatif oleh masyarakat.
Itu sebabnya, Shinta mengutamakan ajaran akhlak kepada para santrinya agar tetap berperilaku baik kepada masyarakat sekitar.
"Kami terus mendorong mereka untuk berakhlak dan berbaur dengan warga lainnya. Hal itu pasti sulit. Namun ketika berlaku baik di lingkungan tempat kita hidup, banyak hal yang bisa menerima kami apa adanya," ujarnya.
Pelajaran agama yang dibahas mulai dari Fiqih hingga Bulughal Maram yang dibimbing oleh enam ustad. Bahkan ada pula pelajaran untuk agama lain bagi waria yang tidak beraga Islam.
4. Menerima Santri non Muslim
waria berkeyakinan Kristen-Katolik juga bisa mendapat bimbingan keagamaan. Sejak 2019, Ponpes Al-Fatih bekerjasama dengan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) untuk jadi pengajar.
Sampai pada 2020 lalu, ada empat orang waria yang berkeyakinan Kristen-Katolik di pesantren tersebut.
5. Berharap Stigma Terhadap Waria Bisa Berubah
Berbaur dengan masyarakat menjadi hal utama yang selalu digaungkan di ponpes tersebut. Ketika belum ada Covid-19, warga sekitar kerap diundang untuk belajar bersama para waria setiap Sabtu sore. Pembelajaran mulai dari berbahasa inggris, cara memasak, hingga merias.
Shinta tak memungkiri bahwa mengubah pandangan masyarakat akan teras sulit. Apalagi dengan budaya yang dianut di Indonesia saat ini. Namun begitu, ia berharap para santrinya memiliki keyakinan kuat terhadap agama. Sehingga mampu menjaga dan memahami yang baik dan buruk untuk mereka.