Suara.com - Perubahan cara belajar anak Indonesia dari tatap muka menjadi online, meningkatkan kejadian cyberbullying atau bullying online pada anak-anak, dan anak SMA lebih berisiko jadi korban cyberbullying.
Mirisnya, meski sama mengerikannya bullying di dunia maya efeknya lebih besar dan menyeramkan dampaknya pada anak, dibanding bullying tatap muka atau bullying di dunia nyata. Ini karena adanya masalah identitas dan jejak digital yang tersisa setelah kejadian bullying.
"Jadi kalau bulliying tatap muka kita tahu identitas yang melakukan bullying dan bisa dengan mudah mengintervensi pelaku. Tapi jika cyberbullying, siapa saja tanpa identitas sekalipun bisa menulis komentar atau membuat konten tidak seharusnya. Bahkan saat anak dewasa jejak digital yang sulit hilang itu akan membekas," ujar Country Director ChildFund International di Indonesia, Hanneke Oudkerk kepada suara.com di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, (30/1/202).
Kenyataan peningkatan cyberbullying ini juga terekam melalui penelitian yang melibatkan 1.610 responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa usia 13 hingga 24 tahun. Responden berasal dari empat provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Lampung dan Nusa Tenggara Timur.
Baca Juga: Sisca Kohl dan Jess No Limit Cosplay Jadi Anak SMA di Bangkok, Tas Sekolahnya Mewah
“Kajian yang berlangsung dari Juli sampai Oktober 2022 ini menemukan 5 dari 10 pelajar dan mahasiswa melakukan intimidasi terhadap orang lain secara online. Sementara 6 dari 10 pelajar dan mahasiswa menjadi korban perundungan online dalam tiga bulan terakhir,” ujar Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi Childfund International Indonesia, Reny Haning di kesempatan yang sama.
Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berisiko menjadi korban perundungan online. Namun, anak laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi pelaku, sementara anak perempuan memiliki peluang lebih tinggi menjadi korban perundungan online.
Selain itu, siswa SMA juga lebih cenderung menjadi pelaku dan jadi korban perundungan online dibanding pelajar SMP dan mahasiswa. Sedangkan remaja di bawah lima belas tahun memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi korban yakni sebesar 64,5% dan pelaku sebesar 53,5% dibanding kategori usia lainnya.
Lebih lanjut Reny menyatakan bahwa perundungan online ini bisa meliputi pelanggaran privasi, pengucilan, penguntitan, pencemaran nama baik, pelecehan dan kekerasan seksual dengan ancaman hingga pemerasan.
Tanggapan terhadap perundungan online dilakukan korban dengan mendiskusikan pengalaman mereka dengan teman atau orang lain yang mereka percaya, diikuti dengan pemblokiran akses pelaku ke akun mereka. Keluarga dan teman sebaya.
Baca Juga: Lagi Bulan Madu, Sisca Kohl dan Jess No Limit Cosplay Jadi Anak SMA Thailand
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa 77,6% responden akan bereaksi ketika menyaksikan perundungan online dengan memperingatkan pelaku, mencegah pelaku mencuri data orang lain, menghibur korban dan sebanyak 45,35% mendorong korban untuk melaporkan perbuatan pelaku.