Suara.com - Selain Kiky Saputri, artis lain yang juga melaksanakan pernikahan pada 28 Januari 2023 yaitu pasangan Deva Mahenra dan Mikha Tambayong. Melalui postingan di berbagai akun media sosial memperlihatkan Deva Mahenra dan Mikha Tambayong yang mengenakan baju pernikahan.
Pernikahan tersebut lantas menjadi perhatian dari banyak masyarakat. Beberapa rekan selebriti lainnya juga turut hadir ke acara pernikahan Deva Mahenra dan Mikha Tambayong tersebut.
Meski demikian, selain banyaknya ucapan selamat dari warganet, beberapa justru mencibir mengenai pernikahan tersebut. Beberapa warganet justru bertanya-tanya mengenai agama keduanya. Pasalnya, Deva Mahenra dan Mikha Tambayong memiliki agama yang berbeda.
Deva Mahenra sendiri diketahui menganut agama Islam. Sementara itu, Mikha Tambayong diketahui menganut agama Kristen. Namun, dalam video seorang Tiktoker yang diunggah kembali akun @rumpi_gosip, dikatakan kalau menikah berbeda agama rupanya diperbolehkan.
Sementara itu, dalam kolom komentar justru ramai menuai pro dan kontra. Beberapa mengatakan kalau orang tuanya menikah beda agama sehingga boleh. Namun, beberapa tegas mengatakan kalau nikah beda agama adalah hal yang dilarang. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum menikah beda agama dalam agama Islam?
Mengutip NU Online, dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 4 menjelaskan bahwa, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan".
Pasal 40 menyebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Sementara itu, dalam Al Quran pernikahan beda agama ini juga dijelaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 221 yang memiliki arti:
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS Al-Baqarah: 221).
Di sisi lain, dalam Al Quran, Allah SWT menjelaskan bahwa haram hukumnya seorang muslim menikah dengan orang kafir. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 10 sebagai berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”. (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Tidak hanya Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar Ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
Berlawanan dengan larangan, menurut Imam al-Syafi’i, laki-laki muslim boleh menikahi wanita kitabiyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya Al Quran, dan mereka tetap beragama menurut kitab sucinya. Sementara menurut tiga mazhab lainnya, Hanafi, Maliki dan Hambali, bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama Ahli Kitab tersebut telah dinasakh (diubah).
Sementara dalam pandangan Muhammadiyah, berdasarkan keputusan Muktamar Tarjih Ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur telah mentarjihkan atau menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau Ahlul Kitab.
Oleh sebab itu, berdasarkan pandangan keseluruhan, ulama Indonesia yang tergabung di organisasi MUI, NU, dan Muhammadiyah bersepakat melarang pernikahan beda agama secara mutlak, baik laki-laki muslim maupun perempuan muslimah.