Mengenal Suku Bajo dan Fakta Menariknya, Jadi Inspirasi Film Avatar: The Way of Water

Agatha Vidya Nariswari
Mengenal Suku Bajo dan Fakta Menariknya, Jadi Inspirasi Film Avatar: The Way of Water
Avatar: The Way of Water

Fakta menarik teraungkap di balik kesuksesan film Avatar: The Way of Water. Ternyata salah satu inspirasi dari film tersebut adalah Suku Bajo di Indonesia.

Suara.com - Film Avatar The Way of Water yang kini tengah tayang di bioskop Indonesia, menjadi perbincangan banyak kalangan.

Bukan karena jalan cerita atau animasinya yang memukau, tetapi disebabkan adanya sebuah fakta menarik yang ada di balik pembuatan tersebut.

Usut punya usut, film yang merupakan sekuel film Avatar yang telah rilis lebih dari satu dekade itu diketahui mendapatkan inspirasi dari Suku Bajo yang ada di Indonesia.

Inspirasi Suku Bajo tersebut nampak pada penggambaran Suku Metkayina yang ada di film, dimana suku tersebut diperlihatkan sebagai penghuni Pandora yang menguasai lautan.

Baca Juga: Punya Makna Khusus, Ini Kata James Cameron Soal Judul Avatar: Fire & Ash

Sebelum mengangkat cerita mengenai Suku Metkayina ini dalam film Avatar: The Way of Water, sang sutradara James Cameron mengaku melakukan banyak riset mengenai suku-suku yang hidup di sekitar lautan.

Salah satu yang menjadi bahan penelitian Cameron adalah Suku Bajo di Indonesia. Hal itu diungkapkannya dalam sebuah wawancara yang dikutip National Geographic.

“Ada (orang Sama-Bajau), orang di Indonesia yang tinggal di rumah panggung dan hidup di atas rakit. Kami melihat hal-hal seperti itu dan kami melihat beberapa desa yang berbeda pada jalur air yang ada menggunakan arsitektur dari pohon-pohon lokal,” ujarnya.

Lantas seperti apa kehidupan Suku Bajo yang menarik perhatian James Cameron? Berikut fakta-faktanya.

Suku penjelajah laut

Baca Juga: Berjudul Fire and Ash, Film Avatar 3 Dijadwalkan Tayang 19 Desember 2025

Suku Bajo dikenal akan kehebatannya dalam menjelajahi lautan, karena memang tempat tinggal mereka berada dekat dengan laut.

Kehebatan Suku Bajo dalam menjelejah lautan membuat suku tersebut dijuluki sebagai si penjelajah laut atau pengembara laut.

Ketika menjelajah laut, Suku Bajo tidak menggunakan peralatan yang canggih. Mereka hanya mengandalkan alam, mulai dari membuat perahu dari kayu hingga melihat posisi bintang sebagai penunjuk arah. Keahilan tersebut diwarisi turun temurun kepada tiap generasi  hingga kini.

Suku Bajo juga sempat mengalami masa-masa dimana mereka hidup nomaden di atas perahu. Mereka hiduo dengan menjelajahi lautan dan berpindah dari satu pesisir ke pesisir lain.

Mampu menahan napas dalam waktu lama

Sebagai suku yang sudah terbiasa hidup berdampingan dengan laut, warga Suku Bajo memiliki keahlian menyelam yang baik. Mereka mampu menyelam hingga kedalaman 70 meter dengan sekali tarikan napas.

Dalam melakukan itu, warga Suku Bajo tidak menggunakan alat bantu pernapasan atau alat-alat selam khusus.

Mereka hanya menggunakan kacamata renang khusus yang dibuat dari kayu, untuk mencegah air masuk ke mata.

Bermukim di lintas negara

Salah satu fakta unik mengenai Suku Bajo, bahwa diketahui suku ini tak hanya bermukim di wilayah Indonesia.

Menurut sejarah disebutkan, Suku Bajo berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan. Karena mereka hidup di laut lepas, mereka menjelajah lautan lepas hingga ke beberapa negara, termasuk Indonesia.

Selain Indonesia, Suku Bajo juga tersebar di Malaysia, Filipina dan Indonesia. Sementara di tanah air, Suku bajo dapat ditemui di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan wilayah Indonesia bagian timur lainnya.

Karena itu pula, Suku Bajo memiliki banyak sebutan, diantaranya Suku Bajo, Bajau, Badjaw, Sama, atau Same.

Mengundang perhatian ilmuwan dunia

Tak sedikit ilmuwan dunia yang tertarik mengetahui lebih lanjut mengenai kehebatan Suku Bajo dalam mengarungi samudera.

Hal itu membuat banyak peneliti yang menjadikan Suku Bajo sebagai Onjeb penelitiannya. Salah satu kelompok ilmuwan yang pernah datang dan meneliti suku ini adalah University of Copenhagen dan University of California.

Salah satu hasil penelitian mereka adalah ditemukan fakta bahwa limpa Suku bajo 50 persen lebih besar dibanding limpa orang lain pada umumnya.

Hal ini membuat kadar oksigen dalam darah orang bajo lebih banyak, karena besarnya ukuran limpa tersebut.

Tak lagi hidup nomaden

Jika sebelumnya Suku Bajo hidup berpindah-pindah di atas perahu, kini mayoritas orang-orang suku tersebut tak lagi hidup nomaden.

Mereka sudah mulai hidup menetap dan membangun rumah di atas laut dangkal sebagai tempat tinggal.

Seperti disebutkan dalam laman Direktorat Sekolah Menengah Pertama Kemendikbud, rumah suku Bajo banyak didirikan di tepi pantai atau di atas perairan laut dangkal.

Rumah mereka didirikan diatas tiang pancang yang cukup tinggi agar terhindar dari gelombang pasang. Sementara dinding rumah mereka dibuat dari bahan dasar katu dan atap rumbia.

Kontributor : Damayanti Kahyangan