Suara.com - Presiden Joko Widodo alias Jokowi mendapat pujian lantaran tidak pernah menerima kado dan amplop saat menikahkan ketiga anaknya. Memangnya memberikan hadiah pada acara perkawinan menurut hukum Islam halal atau haram?
Pribadi keluarga Jokowi yang merakyat ini jadi sorotan saat putra sulungnya yang juga Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka, membalas cuitan netizen. Netizen mengomentari dugaan jumlah sumbangan yang diterima Jokowi saat menikahkan anak, di posisinya sebagai seorang presiden.
"Menjabat dua periode, Presiden Jokowi mantu 3 kali. Kira-kira total sumbangan yang didapat berapa?," ungkap @abduxxxxx.
Hal ini pun langsung dijawab oleh Gibran, bahwa selama menikahkan ketiga anaknya, Jokowi tidak pernah menerima amplop maupun hadiah dari para tamu yang hadir.
Baca Juga: Presiden Jokowi Tak Terima Amplop Saat Nikahkan 3 Anaknya, Kalau Kado Bagaimana?
"Tidak pernah ada sumbangan," katanya singkat.
Hal ini juga dijelaskan di dalam undangan pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono yang sudah disebar, di mana terdapat tulisan pemberitahuan ‘Tanpa mengurangi rasa hormat, Mohon maaf kami tidak menerima sumbangan dalam bentuk apa pun’.
Namun sebenarnya, bagaimana hukum menerima amplop, kado, dan hadiah saat menyelenggarakan perkawinan menurut Islam? Laman Islampos menyebut bahwa berdasarkan syariat Islam, kado dan amplop tergolong sebagai hadiah. Biasanya hadiah diberikan demi membangun hubungan baik.
- Hukum memberikan hadiah adalah boleh jika tidak ada larangan syar'i, bahkan menjadi sunnah jika dilakukan untuk menyambung silaturahmi, bentuk balas budi atau menunjukkan kasih sayang.
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta.” (HR Bukhari)
- Namun memberikan hadiah juga bisa jadi haram, jika diiringi dengan niat buruk dan kejahatan, dalam hal ini termasuk perkara suap menyuap.
Dengan kata lain, hukum Islam melarang pemberian hadiah apapun jenisnya jika dilakukan dengan niat memperlancar kejahatan atau sebagai pelancar menuju perkara yang haram.
Sementara itu dibahas dalam kitab I’anatuth Tholibin juz 3 hal.51, Sayyid Abu Bakar Syatho’ menjelaskan pendapat mayoritas ulama tentang hadiah dalam perkawinan adalah hibah alias pemberian. Sehingga, memberikan kado dan uang tidak boleh dianggap sebagai utang, yang harus dibalas.
Di sisi lain sebagian ulama lainnya menganggap jika tidak ada pernyataan jelas bahwa hadiah bukan utang dan tidak harus dikembalikan, maka perlu pula dianggap sebagai utang.
Di dalam hasyiyah Bujairomi yaitu Syarah kitab Minhaj diterangkan, pendapat yang telah di tetapkan dari perkataan Imam Romli, Ibnu Hajar al Haitami, dan beberapa Hasyiyahnya yaitu:
Hadiah yang di berikan saat walimah (seperti pernikahan, sunatan dan lain lain) maka bagi pemberi tidak boleh mengambilnya lagi apabila hadiah itu di berikan pada si penyelenggara walimah atau orang yang di serahi untuk menerima hadiah, kecuali memenuhi tiga syarat:
- Saat memberi mengucapkan ambilah atau semacamnya
- Ada niat untuk di ambil lagi
- Adat di masyarakat di kembalikan lagi
Dan ketika hadiah itu di berikan pada orang yang di hiasi (seperti pengantin atau orang yang di sunati) atau semacamnya atau di letakan di tempat yang telah di sediakan, maka tidak boleh di ambil lagi kecuali dengan dua syarat :
- Mendapat izin dari penyelenggara walimah
- Ada persyaratan untuk di ambil lagi