Suara.com - Zainal langsung memasukan galon kemasan sekali pakai ke dalam rumahnya setelah diantarkan pekerja agen dengan motor bak terbuka. Sejak terinfeksi Covid-19 pada pertengahan 2021, Zainal beralih konsumsi air mineral galon sekali pakai dari sebelumnya meminum air isi ulang.
Meski tak tahu pasti apa dampaknya terhadap kesehatan, ia mengaku hanya mengonsumsi apa yang disediakan oleh anaknya.
"Saya kena Covid bareng istri dan anak. Waktu itu anak belinya air galon sekali pakai, keterusan sampai sekarang," cerita Zainal ditemui di kediamannya sekitar Bekasi.
Lantaran tinggal seorang diri karena sang istri meninggal akibat sakit covid, Zainal cukup mengonsumsi air 2 galon dalam sepekan. Ia mengaku kini kerap bingung cara membuang kemasan galon tersebut. Beberapa sampah tersebut telah coba ia manfaatkan menjadi pot tanaman.
Baca Juga: Kepala BPOM Sebut Indonesia Punya Potensi Kembangkan Plasma Darah, Memang Apa Manfaatnya?
"Tapi kan engga mungkin semua sampahnya dijadikan pot. Jadi kalau udah abis, saya taruh aja dekat tempat sampah. Gak tau lagi, abis itu kayanya diangkut sama petugas sampah," tuturnya.
Dulu dan sekarang ada tak berubah dari pengamatan Zainal. Yakni, cara petugas mengantarkan galon ke rumahnya masih sama-sama menggunakan motor bak terbuka.
Arif, si pengantar galon tersebut, mengaku selalu mengantarkan galon dengan kendaraan tersebut ke setiap rumah pelanggannya. Ia biasa mengantarkan air kemasan galon sekali pakai juga galon guna ulang mulai jam 8 pagi hingga 5 sore. Saat cuaca cerah, ia bisa mengantar galon ke lebih banyak rumah.
"Tergantung yang pesan juga. Bisa sampai puluhan (galon) diantar," ujarnya.
Motor bak terbuka yang digunakannya tentu rentan membuat bawaannya terpapar matahari, debu, juga hujan. Arif memastikan kalau galon yang diantarnya selalu dalam kondisi tersegel rapat sehingga dinilai tetap aman.
Baca Juga: Kepala BPOM RI Dipanggil Polisi Terkait Kasus Gagal Ginjal Akut
Bisa Merusak Kemasan Galon
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) nyatanya belum memiliki aturan pasti tentang cara distribusi galon berdasarkan dengan jenis plastik kemasannya.
Diketahui kemasan galon yang beredar di masyarakat saat ini tersedia dalam bahan polikarbonat (PC) pada galon guna ulang dan polyethylene terephthalate (PET) untuk galon sekali pakai.
"Saya memang belum pernah baca tentang perlakuan detailnya tentang itu. Tapi ini bisa jadi masukan (untuk BPOM) agar masyarakat lebih terlindungi dan lebih aman," kata ahli Polimer Institut Teknologi Bandung Achmad Zainal Abidin dihubungi suara.com.
Menurutnya, aturan itu diperlukan karena galon PC dan PET memiliki ketahanan yang berbeda. Galon sekali pakai yang terbuat dari plastik jenis PET lebih tipis dibandingkan PC. Selain itu, titik panasnya juga setengah lebih rendah dari PC.
Sehingga, pengangkutan galon PC dan PET yang masih diperlakukan sama dinilai tidak ideal.
Tekstur plastik PET yang lebih tipis, lanjut Achmad, menyebabkan galon berisiko mudah tergores dan kemasannya rusak saat didorong maupun digulingkan. Paparan sinar matahari secara intens juga berisiko merusak kemasan dan meningkatkan potensi migrasi zat kimia dalam air.
"Ketahanan terhadap panas bisa diketahui dari titik leleh. Kalau untuk PET sekitar 80-an (derajat), kalau polikarbonat 150 (derajat) lebih, jauh lebih tinggi. Jadi kalau kena panas 100 derajat, PET itu bisa langsung meleleh sudah kehilangan kekuatan mekaniknya," jelasnya.
Kemasan plastik PET yang tipis juga berisiko menyebabkan migrasi senyawa kimia dalam air berupa etilen glikol dan dietilen glikol serta acetylcysteine.
"Dampaknya bisa sampai membuat orang kehilangan ingatan, hampir sama sakitnya berat juga. Dalam tubuh kita ada namanya reseptor dan ligan, kalau keduanya itu tidak bisa berkomunikasi karena terhalang oleh bahan kimia yang tinggi, nantinya bisa menjadi penyakit atau kanker," jelasnya.
Di sisi lain, BPOM juga membenarkan bahwa proses penyimpanan dan distribusi dari produsen air minum ke konsumen yang tidak baik juga bisa memicu migrasi.
Hanya saja, pengujian migrasi zat kimia baru dilakukan terhadap kemasan galon polikarbonat.
"Kita tahu banyak sekali transportasi galon PC (polikarbonat) yang saat ini masih terbuka, masih terpapar matahari, itu pun bisa mencetus migrasi BPA di dalam kemasan," kata Koordinasi Substansi Standarisasi Bahan Baku BPOM Yeni Restiani ditemui saat acara diskusi di Jakarta.
Yeni menambahkan bahwa pihaknya baru akan lakukan pengujian terhadap potensi migrasi kemasan PET pada galon sekali pakai.
Pembahasan mengenai pengkajian migrasi zat kimia pada kemasan PET tersebut masih dibahas oleh para pimpinan BPOM.
"Karena kami juga mendapat masukan terkait adanya cemaran zat kimia etilen glikol pada kemasan PET," kata Yeni.
Zat Kimia Pada Plastik Tidak Selalu Berbahaya
Zat kimia sebenarnya memang telah digunakan dalam teknologi pangan sejak puluhan tahun lalu. Ahli Teknologi Pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Nugraha Edhi mengatakan bahwa zat kimia dalam kemasan pangan ada yang sengaja ditambahkan dan tidak sengaja ditambahkan atau dihasilkan dari reaksi terdegradasi.
Sebab, meski berbahan kimia, senyawa tersebut juga memiliki banyak manfaat selama kadarnya tidak melebihi batas aman.
"Zat kimia ada banyak manfaatnya. Salah satu yang umum digunakan bahan pengawet kimia," jelasnya.
Pada kemasan air minum, Bisphenol-A atau BPA termasuk zat kimia yang dimanfaatkan dalam industri air minum kemasan galon guna ulang berbahan plastik polikarbonat (PC). BPA digunakan sebagai pengeras plastik yang akan diproduksi menjadi galon.
Zat kimia tersebut tidak digunakan dalam pembuatan galon sekali pakai yang menggunakan plastik jenis PET single layer atau tanpa campuran bahan lain. Tetapi, Nugraha menjelaskan bahwa kemasan berbahan plastik dari jenis apa pun, termasuk PET juga PC juga rentan terjadi migrasi zat kimia apabila diperlakukan tidak baik.
Hanya saja, kemasan PC bisa jadi lebih tahan banting lantaran plastiknya lebih tebal dibandingkan PET.
Selain etilen glikol dan dietilen glikol, Nugraha menjelaskan bahwa kemasan PET rentan mengalami migrasi senyawa asetaldehida yang kemungkinan lebih tinggi resikonya dibandingkan BPA, karena termasuk senyawa karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker.
Bila merujuk pada International Agency for Research on Cancer (IARC), lanjut Nugraha, dikatakan bahwa BPA pada air minum galon polikarbonat berada pada golongan 3 atau tidak termasuk karsinogenik pada manusia.
Sedangkan, dalam plastik PET terdapat zat kimia asetaldehida yang dikategorikan olej IARC masuk ke dalam level 2B atau dicurigai berpotensi karsinogenik untuk manusia.
“Jadi, zat BPA pada kemasan polikarbonat lebih ringan daripada asetaldehida,” ucapnya.
Di dalam peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019, migrasi asetaldehida dari PET dibatasi maksimum 6 bpj.
Nugraha menegaskan bahwa setiap kemasan plastik pada dasarkan pasti memiliki risiko migrasi zat kimia.
Bagaimana Perusahaan Air Minum Menjamin Keamanan Produknya Untuk Konsumen?
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat menekankan bahwa setiap produk AMDK yang beredar di masyarakat wajib memenuhi SNI dan Izin Edar dari BPOM sebelum dijual ke masyarakat.
"Kedua hal ini memuat semua ukuran standar kualitas dan keamanan pangan yang dibutuhkan agar AMDK bisa dikonsumsi dengan aman oleh setiap masyarakat konsumen," tegasnya.
Ia memastikan bahwa setiap AMDK yang diedarkan dan dijual di Indonesia sudah memenuhi semua persyaratan keamanan pangan. Produsen produk AMDK juga wajib memenuhi persyaratan kemasan pangan yang dibutuhkan yaitu, harus memenuhi standar food grade alias tara pangan serta memenuhi batas migrasi sesuai Peraturan BPOM tentang Kemasan Pangan.
Rachmat meminta kepada setiap produsen AMDK juga aktif lakukan kontrol terkait potensi migrasi zat kimia dan pemenuhan aturan kemasan pangan yang sudah diatur.
"Selalu mengimbau kepada anggotanya untuk mematuhi peraturan yang berlaku terkait seluruh proses bisnisnya mulai dari hulu sampai hilir," kata Rachmat.
Suara.com mencoba untuk menghubungi produsen galon kemasan sekali pakai, tetapi hingga tulisan ini diturunkan masih belum ada respon.