Perempuan Jepang semakin enggan untuk menikah dan memiliki anak. Hal itu akibat tekanan keuangan dan peran gender tradisional yang memaksa perempuan pekerja keluar dari kantor saat hamil. Setelah itu, memikul beban pekerjaan rumah tangga dan tugas mengasuh anak.
“Dulu saya berpikir saya akan menikah pada usia 25 tahun dan menjadi seorang ibu pada usia 27 tahun,” kata Nao Iwai, seorang mahasiswa di Tokyo.
"Tetapi ketika saya melihat kakak perempuan tertua saya, yang memiliki anak perempuan berusia dua tahun, saya takut memiliki anak," lanjurnya.
Budaya memiliki anak di Jepang saat ini, kata Nao, suami akan tetap bekerja. Sedangkan istri menjaga anak-anak.
"Saya hanya merasa sulit untuk membesarkan anak, secara finansial, mental dan fisik. Pemerintah mengatakan itu akan memberikan dukungan yang lebih baik untuk keluarga dengan anak kecil, tetapi saya tidak terlalu percaya pada politisi," ujarnya.
Profesor di Universitas Sophia di Tokyo Yuka Minagawa mengatakan bahwa fenomena resesi seks itu termasuk gejala dari kemajuan yang dicapai wanita Jepang dalam beberapa tahun terakhir.
Faktor lainnya terkait finansial, seperti biaya pernikahan yang tinggi juga jadi alasan rendahnya keinginan untuk menikah.
“Faktor yang mungkin menyebabkan keengganan wanita Jepang untuk menikah adalah meningkatnya biaya pernikahan,” tulis Naohiro Yashiro, seorang profesor di Universitas Wanita Showa, dalam esai baru-baru ini untuk situs web Forum Asia Timur.
Capaian pendidikan yang lebih tinggi, lebih banyak perempuan muda yang memiliki upah sama dengan laki-laki, sehingga rata-rata masa pencarian pasangan jadi lebih lama.
Baca Juga: Pengamat Sebut Pinkan Mambo Mengumbar Perilaku Seks Menyimpang: Abnormal
Menirut Naohiro, rata-rata usia perkawinan pertama bagi perempuan di Jepang ialah 29 tahun, jauh melampaui 25 tahun pada 1980-an ketika sebagian besar perempuan hanya lulusan SMA.