Suara.com - Angka kelahiran bayi di Korea Selatan dan Jepang dalam beberapa tahum terakhir dilaporkan rendah. Hal tersebut disebabkan salah satunya akibat resesi seks.
Resesi seks diartikan sebagai merosotnya gairah pasangan untuk melakukan hubungan seksual, menikah, hingga memiliki anak.
Salah satu warga Korea Selatan, Choi Jung-hee, pekerja kantoran yang baru saja menikah, mengaku enggan memiliki anak.
Alasannya karena membesarkan anak butuh biaya sangat besar.
Baca Juga: Pengamat Sebut Pinkan Mambo Mengumbar Perilaku Seks Menyimpang: Abnormal
"Hidupku dan suamiku yang utama," kata Choi, dikutip dari The Guardian.
Ia sendiri sebenarnya sering mendengar cerita kalau memiliki anak juga sebenarnya bisa berikan kebahagiaan. Tetapi, di sisi lain, menurutnya juga banyak waktunya sendiri yang harus direlakan untuk sang anak.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah di Korea Sekatan bahwa proporsi rumah tangga dengan satu orang telah melampaui 40 persen. Tahun lalu, jumlah pernikahan mencapai titik terendah sepanjang masa, yaitu 193 ribu.
Bahkan separuh populasi di Korea Selatan juga percaya kalau pernikahan bukanlah suatu keharusan. Terutama perempuan, memprioritaskan kebebasan pribadi dan sengaja mengesampingkan pernikahan sama sekali.
Kondisi serupa tak jauh berbeda juga terjadi Jepang. Di sekitar ibu kota Tokyo bahkan ada satu wilayah yang mayoritas dihuni oleh orang lanjut usia (lansia), yakni Sugamo. Wilayah itu disebut menjadi kiblat bagi anggota populasi tua di Jepang.
Baca Juga: Rajin Berhubungan Seks Berpotensi Tunda Menopause, Cek Aturan Mainnya!
Jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun di Jepang terus bertambah, saat ini mencapai lebih dari 28 persen total populasi. Sedangkan angka kelahiran tetap sangat rendah. Pada tahun 2021, jumlah kelahiran mencapai 811.604, terendah sejak pencatatan pertama kali dilakukan pada tahun 1899.
Perempuan Jepang semakin enggan untuk menikah dan memiliki anak. Hal itu akibat tekanan keuangan dan peran gender tradisional yang memaksa perempuan pekerja keluar dari kantor saat hamil. Setelah itu, memikul beban pekerjaan rumah tangga dan tugas mengasuh anak.
“Dulu saya berpikir saya akan menikah pada usia 25 tahun dan menjadi seorang ibu pada usia 27 tahun,” kata Nao Iwai, seorang mahasiswa di Tokyo.
"Tetapi ketika saya melihat kakak perempuan tertua saya, yang memiliki anak perempuan berusia dua tahun, saya takut memiliki anak," lanjurnya.
Budaya memiliki anak di Jepang saat ini, kata Nao, suami akan tetap bekerja. Sedangkan istri menjaga anak-anak.
"Saya hanya merasa sulit untuk membesarkan anak, secara finansial, mental dan fisik. Pemerintah mengatakan itu akan memberikan dukungan yang lebih baik untuk keluarga dengan anak kecil, tetapi saya tidak terlalu percaya pada politisi," ujarnya.
Profesor di Universitas Sophia di Tokyo Yuka Minagawa mengatakan bahwa fenomena resesi seks itu termasuk gejala dari kemajuan yang dicapai wanita Jepang dalam beberapa tahun terakhir.
Faktor lainnya terkait finansial, seperti biaya pernikahan yang tinggi juga jadi alasan rendahnya keinginan untuk menikah.
“Faktor yang mungkin menyebabkan keengganan wanita Jepang untuk menikah adalah meningkatnya biaya pernikahan,” tulis Naohiro Yashiro, seorang profesor di Universitas Wanita Showa, dalam esai baru-baru ini untuk situs web Forum Asia Timur.
Capaian pendidikan yang lebih tinggi, lebih banyak perempuan muda yang memiliki upah sama dengan laki-laki, sehingga rata-rata masa pencarian pasangan jadi lebih lama.
Menirut Naohiro, rata-rata usia perkawinan pertama bagi perempuan di Jepang ialah 29 tahun, jauh melampaui 25 tahun pada 1980-an ketika sebagian besar perempuan hanya lulusan SMA.