Adiktif Banget, Ternyata Ini Alasan Orang-Orang Suka Membaca Novel 18+

Jum'at, 04 November 2022 | 14:43 WIB
Adiktif Banget, Ternyata Ini Alasan Orang-Orang Suka Membaca Novel 18+
Ilustrasi membaca buku (pexels/Cristian Benavides)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Novel-novel dengan label 18+ masih banyak diminati oleh pembaca. Terbukti dengan masih banyaknya buku-buku berlabel 18+ yang tersedia di platform baca digital dengan jumlah pembaca yang tidak sedikit dan juga buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit secara fisik.

Meskipun tidak selalu menggambarkan cerita yang mengandung adegan seksual, tidak dapat dipungkiri jika novel 18+ selalu identik dengan hal tersebut. Lalu, mengapa ada begitu banyak orang yang menyukainya?

Dalam survei bertajuk "Tentang Novel Dewasa" yang dilakukan oleh Cabaca dan Jakpat beberapa waktu lalu, 94,84% dari 252 responden mengakui pernah membaca novel dewasa, sedangkan sebesar 5,16% lainnya belum pernah. Selain itu, sebanyak 82,14% setuju jika novel dewasa tidak harus mengandung adegan seksual atau adegan hubungan intim.

Lebih lanjut para responden memberikan pemahaman mereka mengenai novel dewasa. Responden berpendapat jika novel dewasa adalah novel yang mengandung pemahaman, realitas, hingga permasalahan kehidupan di usia dewasa, seperti berdamai dengan kenyataan hidup, masa lalu, dengan sudut pandang manusia di usia dewasa, bukan membahas seksualitas semata. Novel dewasa juga berisi isu-isu yang lebih kompleks dan biasanya memang dekat dengan lingkungan orang dewasa, problem lebih dalam, hingga topiknya lebih intens.

Baca Juga: Ulasan Novel Sesuk: Karya Tere Liye dengan Genre Baru dan Segar

Baru-baru ini, juga diadakan survei khusus kepada para pembaca Cabaca bertajuk "Kenapa Suka Buku Berlabel 18+". Sudah masuk kategori usia menjadi alasan yang paling banyak dipilih oleh responden, diikuti dengan alasan karena membutuhkan referensi, kebutuhan atau bagian dari cerita, lalu karena kepuasan tersendiri atau memacu adrenalin, hingga bab yang dibaca cenderung adiktif.

Citra Ayuning Tyas, editor dari sebagian besar naskah dengan genre 18+ di Cabaca berpendapat, cerita berisi adult content laris salah satunya karena tuntutan dan perkembangan zaman serta kemajuan teknologi.

Sudah sangat jarang generasi muda menonton TV, kita lebih suka langganan platform nonton film seperti Netflix, Disney+, dan lainnya yang kontennya lebih variatif dari segi tema dan genre. Bacaan yang semula hanya ada pada buku fisik, di platform mana pun sekarang menjadi beragam dengan tema cerita yang lebih heterogen lagi.

"Genre popular di suatu negara kadang juga mencerminkan 'struggle' di masyarakatnya. Contohnya di Jepang genre 'isekai' itu pernah sangat populer karena masyarakatnya merasa 'terkurung' dalam kehidupan monoton yang setiap hari harus bekerja atau sekolah sampai malam hari. Genre Isekai hadir sebagai bentuk 'pelarian' dari kehidupan nyata yang monoton tadi. Sementara di negara kita mungkin bisa dibilang isu-isu 18+ masih jadi hal tabu yang tidak bisa kita bicarakan sembarangan sehingga untuk mengobati keingintahuan kita tadi, kita mencari lewat bacaan maupun film," ujarnya, Kamis (3/11/2022), dikutip dari siaran pers.

Lebih lanjut, Citra menjelaskan jika hal-hal yang termasuk adult content (18+) selain seks, pada dasarnya adaah konten yang belum sesuai untuk ditonton oleh anak-anak di bawah umur. Ini meliputi misalnya nudity, kekerasan yang umumnya ada dalam genre crime dan thriller, bahasa yang vulgar, dan lain-lain.

Baca Juga: Djoeroe Masak, Buku yang Cocok Untuk Kamu yang Gemar Masak

Dari survei "Kenapa Suka Buku Berlabel 18+" ini juga diperoleh adanya beberapa keunggulan buku berlabel 18+. Seperti konten dewasa lebih eksplisit yang menempati posisi pertama dengan perolehan 50% pilihan responden, disusul dengan tema dan ide cerita lebih variatif dengan perolehan 32,4%, dan cover lebih provokatif dengan perolehan 14,7%.

Walau demikian, Fatimah Azzahrah, Co-Founder Cabaca, menegaskan bahwa platform tetap punya kewajiban untuk memberi mengedukasi atau minimal memberikan warning pada setiap konten yang ditawarkan.

"Selebihnya, setelah itu seharusnya tetap dikembalikan lagi pada kebijaksanaan pembaca maupun penikmat konten itu sendiri," ungkapnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI