Suara.com - Penyanyi dangdut Lesti Kejora mencabut laporan kepolisian terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya, Rizky Billar. Belakangan, Lesti bahkan memaafkan Billar meski harus dirawat di rumah sakit karena dicekik, diseret dan dibanting.
Polemik Lesti Kejora dan Rizky Billar turut mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Pembahasan tentang siklus kekerasan, stockholm syndrome, istilah bulol, hingga ekspresi wajah masing-masing pun dibicarakan masyarakat.
Simak lagi pembahasan tentang hal-hal tersebut, seperti dirangkum Suara.com berikut ini.
1. Siklus kekerasan
Siklus kekerasan, juga kadang-kadang disebut siklus pelecehan, membantu menggambarkan pola umum perilaku kasar dalam hubungan.
Ini juga membantu memberikan petunjuk menuju pemahaman yang lebih dalam tentang mengapa orang yang mengalami kekerasan sering merasa sulit untuk membebaskan diri.
Selama beberapa dekade, banyak ahli mengandalkan siklus yang ditetapkan pada tahun 1970-an oleh psikolog Lenore Walker dalam bukunya “The Battered Woman.” Itu didasarkan pada bukti anekdot dari wawancara dengan banyak perempuan heteroseksual yang pernah mengalami pelecehan.
Siklus ini melibatkan empat tahap yang dinamakan Trusted Source, yakni ketegangan meningkat, insiden pelecehan, rekonsiliasi atau tahap 'bulan madu' dan masa tenang.
2. Stockholm syndrome
Baca Juga: Keluar dari Tahanan Polres Metro Jakarta, Rizki Billar Ungkap Masih Ingin Jadi Imam Untuk Keluarga
Dikutip dari WebMD, sindrom stockholm adalah cara untuk memahami respons emosional, biasanya antara korban penculikan terhadap pelakunya.
Tidak banyak penelitian tentang sindrom Stockholm, tetapi kondisi itu disebut bukan hanya orang yang disandera yang bisa mengalaminya. Melainkan, bisa terjadi dalam tindak kejahatan lain termasuk KDRT..
Kadang-kadang orang yang menjadi korban kekerasan atau tindak kejahatan lainnya dapat memiliki perasaan simpati atau perasaan positif terhadap si pelaku. Emosi itu bisa saja terjadi setelah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun terjadi kontak dekat dengan pelaku.
Sebuah ikatan dapat tumbuh antara korban dan pelaku. Hal itu dapat mengarah pada perlakuan yang baik dan lebih sedikit bahaya dari pelaku karena mereka juga dapat menciptakan ikatan positif dengan korbannya.
Seseorang yang memiliki sindrom stockholm mungkin memiliki perasaan yang membingungkan terhadap pelaku, termasuk cinta, simpati, empati, serta keinginan untuk melindungi si pelaku.