Suara.com - Kasus KDRT Rizky Billar kepada Lesti Kejora berujung damai. Lesti Kejora memilih memaafkan suaminya tersebut dan mencabut laporannya dari kepolisian.
Hal ini pun membuat netizen ramai memperbincangkan tentang sindrom stockholm alias stockholm syndrome. Kondisi apa itu?
Lesti juga disebut tak kuasa menahan tangis setelah memutuskan menyudahi konflik dengan Rizky Billar lewat jalur damai.
"Surat pencabutan laporan sudah ditandatangani," kata kuasa hukum Rizky Billar, Surya Darma Simbolon di Polres Metro Jakarta Selatan, Kamis (13/10/2022).
Baca Juga: Rizky Billar Masih Ditahan, Hotma Sitompul Ngamuk di Polres
Surya menceritakan juga bagaimana momen haru terjadi saat Lesti memeluk Rizky usai berdamai di depan penyidik.
Perubahan sikap melunak korban terhadap terduga pelaku kejahatan kerap dikaitkan dengan istilah sindrom stockholm.
Istilah itu sebenarnya bukan diagnosis psikologis. Dikutip dari WebMD, sindrom stockholm adalah cara untuk memahami respons emosional, biasanya antara korban penculikan terhadap pelakunya.
Tidak banyak penelitian tentang sindrom Stockholm, tetapi kondisi itu disebut bukan hanya orang yang disandera yang bisa mengalaminya. Melainkan, bisa terjadi dalam tindak kejahatan lain termasuk KDRT..
Kadang-kadang orang yang menjadi korban kekerasan atau tindak kejahatan lainnya dapat memiliki perasaan simpati atau perasaan positif terhadap si pelaku. Emosi itu bisa saja terjadi setelah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun terjadi kontak dekat dengan pelaku.
Baca Juga: Farhat Abbas Singgung Lesti Kejora Penyanyi Kampung Yang Viral, Lagi-Lagi Dihujat Netizen
Sebuah ikatan dapat tumbuh antara korban dan pelaku. Hal itu dapat mengarah pada perlakuan yang baik dan lebih sedikit bahaya dari pelaku karena mereka juga dapat menciptakan ikatan positif dengan korbannya.
Seseorang yang memiliki sindrom stockholm mungkin memiliki perasaan yang membingungkan terhadap pelaku, termasuk cinta, simpati, empati, serta keinginan untuk melindungi si pelaku.
Meski begitu, tidak semua orang yang menjadi korban mengalami sindrom Stockholm. Para ilmuwan juga belum menemukan penyebab pasti seseorang bisa alami hal itu.
Hanya saja, itu dianggap sebagai mekanisme bertahan hidup. Seseorang mungkin menciptakan ikatan itu sebagai cara untuk mengatasi situasi yang ekstrem dan menakutkan.
Beberapa bagian penting tampaknya meningkatkan kemungkinan sindrom stockholm, seperti:
- Berada dalam situasi emosional untuk waktu yang lama.
- Berada di ruang bersama dengan pelaku dalam kondisi yang buruk, misalnya tidak cukup makanan, ruang yang secara fisik tidak nyaman.
- Ketika korban bergantung pada pelaku untuk kebutuhan dasar.
- Ketika ancaman terhadap kehidupan tidak dilakukan, misalnya eksekusi palsu.