Suara.com - Beberapa sekolah di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat perlu diintervensi dan diedukasi untuk menurunkan angka perkawinan anak.
Apalagi data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, Jawa Barat jadi provinsi kedua Indonesia tertinggi perkawinan anak, sedangkan Cianjur daerah kedua di Jawa Barat tertinggi anak di bawah umur menikah.
Fenomena ini akhirnya membawa Pocter & Gamble (P&G) dan Save the Children menjalankan program 'We See Equal' di SMPN 1 Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
Acara ini digelar dalam bentuk edukasi dan pemahaman pentingnya mencegah perkawinan anak, kepada guru, orangtua murid dan siswa SMPN 1 Cibeber.
Baca Juga: Koalisi Stop Perkawinan Anak Sulsel Bentuk Tim Kerja untuk Kasus Pernikahan Anak di Kabupaten Wajo
Edukasi dijalankan dalam bentuk rangkaian, seperti acara diskusi daring dan luring (offline) yang menyasar 100 orangtua dan 30 guru. Tujuannya agar memperkuat pengetahuan dan komitmen keduanya membentuk pola pengasuhan yang baik berasal dari rumah.
Selanjutnya, puncak acara edukasi ini juga menyasar 100 siswa yang oleh karyawan PNG, diajak berdiskusi dan melakukan permainan edukatif, yang berlangsung pada Jumat (23/9/2022) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
Psikolog dan Parenting, Ayank Irma mengatakan anak berusia kurang dari 20 tahun dinilai belum punya pemikiran matang yang sempurna, sehingga sulit untuk bertanggung jawab terhadap individu baru atau anak.
"Banyak sekali ibu muda menikah dini alami depresi, sehingga saat ingin menyelamatkan diri, berpikir ada anak, sehingga depresinya semakin berat," ujar Ayank saat konferensi pers.
Ayank menambahkan, karena ibu muda ini mengalami depresi berat akhirnya berdampak kepada keluarganya, ibu tersebut juga bisa melakukan kriminalitas atau bahkan ingin mengakhiri hidupnya.
Baca Juga: Angka Perkawinan Anak di Sulawesi Selatan Masih Tinggi
"Kondisi ini bisa berbahaya juga untuk anak yang melihat dinamika keluarganya. Jadi itu bahaya remaja menikah usia anak, belum ada kesiapannya," tambah Ayank.
Menanggapi ini, Presiden Direktur P&G Indonesia, Saranathan Ramaswamy percaya bahwa anak tumbuh dengan mencontoh orangtua atau orang dewasa di sekitarnya. Sehingga apabila keluarga siap mendidik anak dengan pikiran matang, maka bakat dan kemampuan terbaik anak akan berkembang lebih pesat dari yang dibayangkan.
"Dalam acara #BerpihakPadaAnak hari ini, kami melibatkan karyawan sebagai relawan untuk berinteraksi langsung dengan para siswa, orangtua, dan pihak sekolah guna upaya melawan perkawinan anak dan kekerasan pada anak," ujar Saranathan.
Plt. CEO Save the Children Indonesia, Dessy Kurwiany Ukar mengatakan alasan sekolah jadi fokus utama, karena dari sekolah bisa melibatkan berbagai pihak yang terhubung dengan anak.
"Guru kan punya peran penting edukasi muridnya, orangtua juga bagaimana mengasuh anak di luar sekolah, dan nantinya lingkungan di sekitar anak juga harapannya bisa kita gandeng juga," ungkap Dessy.
Selain itu edukasi dan kampanye kesetaraan gender dan mencegah kekerasan pada anak, juga jadi fokus rangkaian program We See Equal P&G bersama Save the Children sejak 2018 hingga 2020.
Hasilnya kerjasama ini berhasil melahirkan prosedur standar atau SOP pencegahan dan penanggulangan kekerasan di 40 sekolah, serta mendorong Dinas Pendidikan agar SOP itu diterapkan di seluruh SMP Kabupaten Cianjur.
Adapun harapan dan output kegiatan ini, bisa menurunkan prevalensi angka perkawinan anak, kekerasan terhadap anak, dan kesetaraan gender sehingga baik anak lelaki dan perempuan punya kesempatan pendidikan yang setara.
Kabar baiknya, hasil ini sudah mulai terlihat menurut keterangan Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cianjur, Helmi Halimudin, bahwa kesadaran melaporkan kesadaran anak cukup tinggi, khususnya setelah adanya Modul CHOICES.
"Pemerintah dari berbagai level harus menanggapi ini dengan serius, bahu membahu untuk membuat aturan baku yang mengatur mekanisme kasus kekerasan anak," kata Helmi.
Terakhir, Wakil Kepala Sekolah SMPN 1 Cibeber, Eva Silvia Windari mengaku merasakan dampak baik setelah mendapat SOP dan hotline perlindungan anak dari kekerasan di sekolah.
"Sejak SOP tersebut diimplementasikan, muncul keberanian siswa untuk melaporkan adanya tindak kekerasan, baik yang dialami sendiri atau yang dilihat. Seperti beberapa waktu lalu ada kejadian bullying kita langsung tahu apa yang perlu dilakukan," tutup Eva.