Suara.com - Fenomena quiet quitting dan quiet firing kini menjadi sebuah tren atau kultur baru di kantor. Keduanya sering disandingkan satu sama lain karena sama-sama menjadi perilaku toksik yang melanda dunia perkantoran.
Baik quiet quitting maupun quiet firing juga menunjukkan bahwa iklim di perkantoran menunjukkan kondisi yang tidak sehat sehingga membuat para pekerja timbul keinginan untuk resign atau cabut.
Namun, terdapat perbedaan mendasar antara quiet quitting dengan quiet firing.
Lantas apa itu quiet firing dan perbedaannya dengan quiet quitting? Berikut penjelasan selengkapnya.
Definisi quiet firing
Mengutip penjelasan pakar HR Bonnie Dilber via jejaring LinkedIn Quiet firing merujuk pada istilah yang menjelaskan kondisi seorang pekerja diam-diam dipecat oleh atasannya. Quiet firing juga dapat terjadi ketika seorang atasan secara halus membuat pekerjanya resign alias mengundurkan diri.
Saat terjadi quiet firing, maka seorang atasan akan membuat pekerjanya ingin mengundurkan diri dan melepas pekerjaannya.
Bonnie menjelasakan bahwa salah satu trik sang atasan secara halus memecat pekerjanya adalah dengan membuat si pekerja tersebut merasa tak kompeten untuk melakukan tugasnya. Selain itu, si pekerja dibuat merasa terisolir dari pekerjaan kantor sehingga merasa tak ingin lagi melanjutkan bekerja di kantor tersebut.
Sontak, pekerja tersebut akhirnya memutuskan untuk hengkang dari kantor lantaran merasa tak mendapat bagian saat hadir bekerja.
Baca Juga: Wajib Tahu, Ini 3 Cara Efektif Kelola Talenta Gen Z di Dunia Kerja
Bonnie lebih lanjut menjelaskan bahwa fenomena ini telah menjadi tren toksik di kalangan pekerja kantoran. Sebab, fenomena quiet quitting merupakan tanda manajemen buruk yang tak mampu mengkomunikasikan kinerja seorang pekerja secara gamblang dan empat mata.