Suara.com - Saat ini, istilah thrift atau thrifting tengah marak dibicarakan, menjadi hal yang diminati oleh banyak anak muda di Indonesia. Ini terbukti dari menjamurnya thrift shop di media sosial yang semakin mudah ditemui.
Sayangnya baru-baru ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengakui jika perilaku thrift dapat menjadi salah satu ancaman bagi brand fashion lokal untuk berkembang.
Khusus fesyen misalnya, banyak orang lebih memilih membeli barang thrift dari luar negeri, dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang masih sangat bagus dan layak digunakan.
"Sebenarnya iya, tetapi ya itu tadi kita nggak menafikan bahwa memang di setiap ini ada risiko," ujar Direktur Bidang Pemasaran Kemenparekraf, Yuana Rochma Astuti saat ditemui suara.com di acara Tokopedia beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Penjualan Barang Awul-awul di DIY Fantastis, Capai Rp5,87 Miliar
Sayangnya menurut Yuana, Kemenparekraf belum ada pembahasan khusus terkait hal ini, tapi ia berjanji akan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait kegiatan thrifting yang bisa mengancam brand fashion lokal.
"Nah ini bagaimana sekarang kita memberikan pengertian kepada masyarakat untuk terus meyakinkan mereka, bahwa brand lokal ini bagus bagus sebenarnya, lebih ke edukasi sih, jadi itu si mbak, edukasi," tutur Yuana.
Lantas, sebenarnya apa sih thrift dan thrifting itu? Dikutip dari laman vocabulary, pengertian thrift mengacu pada perilaku hemat terhadap uang yang dikeluarkan. Secara singkat, thrift berarti hemat.
Namun, ada perbedaan terkait thrift dan thrifting itu sendiri. Thrift merupakan barang bekas yang dijual kembali. Sedangkan thrifting, melansir dari laman Street Sense, merujuk kepada kegiatan membeli barang bekas atau thrift.
Thrifting dapat dilakukan secara langsung dengan pergi ke pasar khusus barang bekas ataupun memperolehnya secara online. Sedangkan dalam The Daily Star, kata lain dari thrifting adalah belanja barang bekas.
Baca Juga: Kemenperin Klaim Nilai Ekspor Kulit Meningkat 13,12 Persen
Bagi sebagian kalangan, thrifting adalah budaya populer yang mengesampingkan faktor higienitas. Namun, kini perilaku tersebut telah memiliki kalangan penggemarnya tersendiri.
Terlebih thrifting sangat mendukung kampanye zero waste yang bisa memberikan dampak besar bagi lingkungan. Dengan berbelanja barang bekas, kita dapat memberikan suara dengan uang kita sebagai untuk tidak mendukung industri yang menghasilkan polusi dan berton-ton limbah.
Berikut adalah beberapa dari banyak alasan mengapa thrift lebih baik daripada membeli barang baru seperti dilansir Goodwill.
1. Menghemat Sumber Daya
Penciptaan hal-hal baru membutuhkan banyak sumber daya, terutama di dunia mode cepat dan hiperkonsumerisme saat ini. Beberapa dari sumber daya alam digunakan pada tingkat yang lebih cepat daripada yang dapat diproduksi dan tidak dapat diperbarui. Ketika datang ke pakaian, elektronik, dan barang-barang rumah tangga lainnya, dibutuhkan banyak air dan energi untuk membuat barang-barang ini.
Ketika kita melakukan thrifting, kita tidak secara langsung mendukung permintaan barang baru untuk dibuat, dan ini berdampak positif karena sumber daya dan energi sudah digunakan untuk membuat barang itu. Khusus untuk pakaian dan tekstil, lebih sedikit kain yang terbuang, dan jejak air suatu barang menjadi lebih sedikit karena umur barang diperpanjang.
2. Lebih Sedikit Barang yang Dibuang
Kita tidak hanya menggunakan lebih sedikit sumber daya ketika kita thrifting, tetapi secara keseluruhan, lebih sedikit barang yang dibuang juga. Berbelanja barang bekas adalah cara yang bagus untuk memberikan rumah baru bagi beberapa barang keren yang akan berakhir di tempat sampah.
Dalam masyarakat konsumerisme saat ini, orang sering membeli barang tanpa menyadari bahwa mereka tidak benar-benar membutuhkannya, dan dengan barang yang murah dan mudah dijangkau, orang cenderung membuangnya. Untuk membantu mengurangi dampak hal ini terhadap lingkungan, kita dapat memilih untuk menyumbangkan barang-barang daripada membuangnya dan mempertimbangkan untuk mencari barang bekas saat kita membutuhkan sesuatu.
3. Kurangnya Polusi Kimia
Dibutuhkan banyak manufaktur dan pengolahan untuk dapat menciptakan barang baru. Dalam hal pakaian, tekstil perlu ditanam menggunakan pestisida, dan kemudian kain tersebut diperlakukan dengan bahan kimia dan pewarna yang keras yang tidak hanya berbahaya bagi lingkungan tetapi juga bagi kesehatan kita.
Saat membuat kain sintetis, gas rumah kaca dilepaskan yang berkontribusi pada perubahan iklim. Bahan kimia ini mencemari air, tanah, dan udara kita, dan ini dapat berdampak pada satwa liar dan kualitas banyak sumber daya yang kita gunakan untuk bertahan hidup.
Racun juga dapat mengganggu hormon dan mikrobioma usus kita, dan masih ada penelitian yang belum terungkap tentang bagaimana bahan kimia ini dapat berdampak pada tubuh kita. Dengan memilih untuk membeli barang bekas, kita tidak mendukung permintaan produk baru yang dibuat menggunakan bahan kimia ini, dan dampak negatif barang tersebut terhadap kesehatan juga bisa jauh lebih kecil dibandingkan dengan membeli barang baru.