Suara.com - Demi menguak fakta di balik misteri kematian Nofryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, polisi menggunakan alat pendeteksi kebohongan atau poligraf terhadap tersangka mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi.
Alat pendeteksi kebohongan alias poligraf ini digunakan tim khusus yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, untuk memeriksa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi termasuk para tersangka lainnya yaitu, Bharada E alias Richard Eliezer, Brigadir RR alias Ricky Rizal, dan KM alias Kuat Maruf.
Alat pendeteksi kebohongan ini juga akan digunakan pada saksi Asisten Rumah Tangga keluarga Ferdy Sambo, yaitu Susi.
"Itu namanya uji polygraph, untuk menentukan tingkat kejujuran subjek dalam memberikan keterangan," kata Andi kepada wartawan, Selasa (6/9/2022).
Baca Juga: Terungkap! Sosok Perusak CCTV di Rumah Ferdy Sambo, Nasib Kombes Agus Ditentukan Hari Ini
Mengutip Psychology Today, alat pendeteksi kebohongan atau poligraf bekerja dengan cara mendeteksi perubahan halus pada respon fisiologis tubuh, ketika orang itu berbohong.
Teori di balik penggunaan alat ini yaitu saat seseorang berbohong, ia akan mengalami keadaan emosional dan respon tubuh tak biasa pada orang jujur, seperti denyut jantung, tekanan darah, pernapasan dan keringat akan bertambah drastis.
Perubahan saat tubuh berbohong ini terjadi karena sistem fight or flight saat seseorang mulai merasa takut. Seperti halnya jantung berdebar atau telapak tangan berkeringat ketika berhadapan dengan anjing galak, bos pemarah atau ujian tertentu.
Namun yang jadi pertanyaan, seberapa besar akurasi dan efektivitas poligraf saat digunakan?
Menurut American Polygraph Association, asosiasi terkemuka dunia yang mendedikasikan penggunaan poligraf sebagai metode ilmiah berbasis bukti ini, membenarkan alat pendeteksi kebohongan akurasinya tidak bisa 100 persen.
Baca Juga: Kombes Agus Nur Patria Hadapi Sidang Etik Diduga Rusak Bukti Imbas Ikut Skenario Ferdy Sambo
Asosiasi yang anggotanya sebagian besar terdiri dari pemeriksa poligraf itu, memperkirakan akurasi tertinggi poligraf bisa mencapai 87 persen. Artinya 87 dari 100 kasus, poligraf secara akurat bisa menentukan seseorang jujur atau berbohong.
Meski begitu, pakar memperingatkan tetap ada 13 persen poligraf bisa bekerja tidak akurat. Hingga akhirnya pada 2003, tim besar ilmuwan menyimpulkan kinerja poligraf jauh lebih tidak akurat daripada yang diklaim.
Para ilmuwan ini menyimpulkan, akurasi maksimal poligraf bisa bekerja akurat hanya mendekati 75 persen. Performa yang lemah inilah, yang jadi alasan poligraf umumnya tidak bisa digunakan sebagai alat bukti di persidangan.
Bukti ketidakakuratan poligraf ini, terlihat pada kasus Alrich Ames yang berbohong tapi selalu lolos alat pendeteksi kebohongan.
Saat ditanya kenapa ia selalu lulus tes poligraf, ia berkata hanya mengikuti saran untuk tetap tenang, jangan khawatir, dan tidak perlu takut.
Ini karena ada anggapan poligraf ini cacat, dan bisa bekerja dengan akurat jika orang yang diuji khawatir dan cemas, tapi jika orang tersebut santai maka akan lolos tes alat pendeteksi kebohongan.