Suara.com - Membaiknya situasi pandemi di seluruh dunia memantik kembali harapan para orang tua untuk memberangkatkan anaknya menempuh pendidikan di universitas terbaik dunia, seperti Ivy League dan universitas kelas dunia lainnya seperti Stanford, MIT, dan UC Berkeley.
Sayangnya, perjuangan menembus universitas terbaik dunia ini tidaklah mudah. Terlebih tahun ini, hampir seluruh universitas terbaik dunia mencatatkan angka rata-rata penerimaan yang semakin rendah seiring tingginya minat calon mahasiswa.
Untuk menembus ketatnya seleksi pendaftaran di universitas-universitas tersebut, tentunya para orang tua membutuhkan informasi memadai untuk mempersiapkan putra-putrinya dengan sebuah strategi khusus.
Dalam Press Conference Crimson Education beberapa waktu lalu, Daniel Chung, Former Associate Director of Admissions di Stanford University yang hadir secara virtual, menjelaskan bahwa memang banyak orang tua yang hanya berfokus pada nilai akademik untuk mengantar anak-anaknya masuk ke universitas pilihan.
“Mungkin praktik semacam ini umum berlaku di sistem pendidikan berbagai negara. Namun, berbeda halnya jika ingin memasuki universitas sekelas Ivy League di Amerika Serikat (AS), cemerlang secara akademis saja tidaklah memadai. Siswa yang tidak mencantumkan aktivitas ekstrakurikuler dan pengalaman kepemimpinan dalam aplikasinya akan sulit dipertimbangkan masuk ke universitas AS mana pun - apalagi Ivy League,” papar Daniel Chung, mengutip siaran pers yang diterima Suara.com.
Dalam lingkungan kompetitif ini, prestasi akademis tidak selalu cukup untuk mendapatkan pengakuan dan membuat siswa tersebut diterima di universitas unggulan. Setiap tahunnya, universitas-universitas unggulan di AS menerima puluhan ribu aplikasi, tetapi hanya sebagian kecil mahasiswa yang diterima.
Baca Juga: 5 Universitas Terbaik di Indonesia Menurut QS World University Rankings 2023
Saat menyeleksi puluhan ribu aplikasi — umumnya dari siswa-siswi berprestasi seluruh dunia — pihak universitas akan menilai calon mahasiswa secara holistik, sehingga kegiatannya di luar ruang kelas turut memberikan bobot yang besar.
Sebagai contoh, Stanford menolak 69% calon mahasiswa dengan skor SAT sempurna dalam lima tahun terakhir. Universitas-universitas unggulan di AS seperti Stanford ingin melihat mahasiswa yang dapat membawa pengaruh positif bagi budaya kampus dan menambah kekayaan sejarah alumninya, sehingga tolok ukur tidak lagi sekadar skor SAT sempurna, tetapi juga kegiatan ekstrakurikuler dan pengalaman kepemimpinan.
Inilah yang saat ini menjadi fokus pengembangan Crimson Education, konsultan pendidikan yang menyediakan bimbingan bagi siswa-siswi sekolah menengah yang berambisi untuk menembus ketatnya seleksi penerimaan di universitas-universitas kelas dunia.
Vanya Sunanto, Country Manager, Indonesia at Crimson Education menjelaskan lebih lanjut mengenai fokus layanan Crimson Education dalam membimbing siswa sekolah menengah melampaui standar menjadi siswa cemerlang secara akademis untuk menembus seleksi masuk universitas unggulan.
“Bersama Crimson, siswa akan dibimbing menjalankan inisiatif yang sesuai minat dan ketertarikan mereka dengan menyoroti kreativitas, kemampuan analisis, kemampuan berpikir kritis, dan berbagai hal lainnya yang akan menjadi bekal mereka dalam perkuliahan nanti. Dengan cara ini, siswa berkesempatan untuk menonjolkan diri dan menunjukkan kepada pihak universitas bahwa mereka memiliki segala kualitas yang pihak universitas cari dalam diri mahasiswa tingkat sarjananya: kecerdasan; kepraktisan; keberanian; kedewasaan; fokus; determinasi; kemampuan untuk bertindak lanjut (follow-through); serta kemampuan berorganisasi dan kepemimpinan,” papar Vanya Sunanto.
Lebih lanjut dikatakan Vanya, statistik telah membuktikan bahwa nilai pendekatan ini berhasil lebih baik dibandingkan dengan siswa yang sekadar cemerlang secara akademis dalam penerimaan universitas kelas dunia.
Pihak universitas tentunya memerlukan bukti komitmen dan konsistensi dari waktu ke waktu, sehingga dedikasi seorang siswa selama satu jam seminggu untuk suatu tujuan selama setahun akan lebih mengesankan daripada 40 jam selama seminggu yang kemudian usai.
Siswa yang mampu mempertahankan minatnya secara konsisten dalam satu kegiatan ekstrakurikuler selama beberapa tahun memang akan lebih dilirik, tetapi bukan berarti kegiatan ekstrakurikuler harus selalu menjadi komitmen jangka panjang.
Setiap siswa berbeda – beberapa mungkin mengisi kalender mereka dengan 20 kegiatan berbeda setiap minggu, sementara yang lain mungkin memiliki dua atau tiga kegiatan utama yang selaras dengan minat mereka – triknya adalah menemukan minat yang menampilkan keragaman dan juga menunjukkan well-lopsidedness (kecondongan).
‘Well-lopsided’ bukanlah sekadar ‘cukup jago’ dalam beberapa bidang yang berbeda, tetapi juga berprestasi dalam satu bidang tertentu. Universitas-universitas unggulan di AS tidak menginginkan 5.000 siswa yang ‘sedang-sedang saja’ dan sebelumnya terlibat dalam kegiatan berorganisasi di sekolahnya, sepak bola, atau pengabdian masyarakat.
Baca Juga: Ini 5 Beasiswa Studi S2 ke Luar Negeri, Kamu Sudah Coba yang Mana?
Mereka menginginkan 5.000 calon mahasiswa yang memiliki minat, bakat, dan kemampuan yang berbeda-beda. Dengan menjadi kuat dalam satu bidang dan menjadi salah satu yang terbaik dalam bidang tersebut, profil siswa akan terlihat menonjol di mata pihak universitas.
Sistem pendidikan di AS yang unik dan khusus umumnya akan sedikit menyulitkan siswa-siswi dari belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia, karena adanya perbedaan kurikulum akademik dan ekosistem ekstrakurikuler.
Sebagai perbandingan, untuk menjadi mahasiswa di AS, seorang siswa setidaknya perlu memiliki tiga modal utama, yaitu hasil akademik (berbobot 40% yang terdiri dari nilai transkrip akademik, SAT/ACT, dan AP/IB/A-Levels/GPA), serta kegiatan ekstrakurikuler dan kepemimpinan juga hasil esai dan wawancara (yang sama-sama berbobot 30%). Inilah yang perlu disadari dengan cermat.
“Calon mahasiswa dari Indonesia mulai kini perlu memiliki setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Kegiatan tersebut juga perlu menjadi fokus sejak dini, karena konsistensi adalah kunci untuk membangun profil ekstrakurikuler yang kuat yang juga secara simultan mencerminkan karakter kepemimpinan siswa, termasuk kepemimpinan terhadap diri sendiri. Dengan cara ini, sangat mungkin mimpi sang siswa belajar di universitas kelas dunia bisa tercapai,” tutur Vanya.
Ada banyak cara bagi siswa untuk berkontribusi dan membuat perbedaan di luar ranah akademis, misalnya melalui kegiatan olahraga, filantropi, kewirausahaan, kegiatan kreatif, atau kompetisi teknologi. Idealnya, kegiatan yang siswa jalankan menunjukkan komitmennya pada bidang studi yang diminati dan mampu membawa manfaat/kontribusi bagi lingkungan sekitarnya.
Sebabnya, selain mencari bukti dedikasi, universitas-universitas di AS juga mencari indikasi perhatian dan minat tulus dalam kegiatan ekstrakurikuler yang dipilih siswa.
“Kinilah saatnya siswa Indonesia memilih jenjang pendidikan tinggi yang lebih tepat sesuai minat dan kemampuannya. Bagi mereka yang bercita-cita untuk belajar di universitas kelas dunia, salah satu langkah awalnya adalah perlu mematangkan portofolio ekstrakurikuler yang baik dan mampu menunjukan kualitas kepemimpinan,” tutup Vanya.