Suara.com - Kemampuan literasi digital yang dimiliki masyarakat tidak hanya berhubungan dengan penggunaan internet dan teknologi.
Pakar mengatakan literasi digital juga memiliki hubungan erat dengan tingkat toleransi di masyarakat. Kok bisa?
Donny Budi Utoyo, selaku Dewan Pengarah Siberkreasi menyatakan toleransi yang ada saat ini adalah hasil dari tingkat literasi yang tinggi serta kebebasan berekspresi. Tingkat toleransi semakin tinggi jika apresiasi dan etika ini ada ketika berpendapat.
"Kebebasan berekspresi ini nggak bisa dipisahkan dengan etika dan toleransi. Mereka ini harus jadi satu. Jika tidak, bisa menimbulkan masalah bahkan bisa berujung ke ranah hukum. Alangkah indahnya jika ada perbedaan pendapat, ya diberikan juga tempat untuk berdiskusi secara baik,” ujarnya kegiatan peluncuran 58 Buku Kolaborasi Seri Literasi Digital.
Baca Juga: Kisah Inspiratif Perjalanan Karier Prabu Revolusi dalam Buku Top Words 2
Pada kesempatan yang sama, Amelinda Kusumaningtyas dari CfDS (Center for Digital Society) Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa buku-buku yang diluncurkan merupakan bentuk dari riset tentang perubahan-perubahan sosial yang disebabkan oleh transformasi digital.
"Buku yang kami buat ada tentang ekonomi digital yang menjelaskan tentang pemanfaatannya seperti apa, implikasi ke pemberdayaan perempuan dan inovasi digital apa yang terbentuk ketika COVID-19 terjadi. Buku yang kedua membahas tentang ketidaksetujuan kami dengan doxing. Apapun alasannya, perundungan di dunia maya bukan suatu hal yang bisa dijustifikasi. Dari situlah kami membahas kira-kira langkah apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan awareness dan mencegah cyberbullying," jelasnya.
Erni Sulistyowati selaku perwakilan dari Common Room, menjelaskan secara singkat tentang 10 buku yang dibuat dengan tujuan untuk membantu menurunkan kesenjangan digital di Indonesia.
Ada buku yang membahas tentang peningkatan kapasitas di bidang teknologi informasi, pemanfaatan digital, kebijakan dan regulasi, serta tentang pembelajaran teknologi informasi dan layanan berbasis komunitas.
"Saya harap semoga buku ini ada dan terus berkembang mengikuti dinamika yang ada dengan kebutuhan yang ada di masyarakat. Semoga buku ini juga dapat berkontribusi untuk menyelesaikan kesenjangan digital di Indonesia, khususnya pedesaan dan daerah terpencil," tambahnya.
Baca Juga: Ulasan Buku Saya Bersyukur, Saya Bahagia: Jalani Hidup dengan Rasa Syukur
Ada juga buku-buku yang dihasilkan oleh tim Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI), membahas tentang panduan dan bagaimana posisi perempuan di dunia daring secara cermat dan bermedia sosial secara bijak. Tim JAPELIDI membuat 15 buku yang terbagi menjadi buku kolaborasi, buku panduan, dan buku khusus yang mengajarkan empat pilar Literasi Digital.
Tim Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) ikut menjelaskan tentang buku berjudul "Membangun Resiliensi dalam Gejolak Pandemi", yang membahas tentang kisah dan tantangan yang dialami oleh relawan ketika COVID-19 terjadi. Buku tersebut dibuat berdasarkan riset yang harapannya dapat menjawab masalah-masalah dan mendorong semangat kerelawanan.
"Tantangan kita tidak hanya soal pendidikan saja, tapi setiap daerah pasti punya tantangannya sendiri-sendiri. Tapi yang sering kita lihat, pandemi ini selain membuat krisis kesehatan, juga membuat kita harus bisa melakukan pembelajaran secara online atau jarak jauh yang biasanya kita lakukan secara offline," jelas Nuril Hidayah.
Ada tujuh mitra jejaring yang berkolaborasi dalam peluncuran buku ini, yaitu CfDS (Center for Digital Society) Universitas Gadjah Mada, Common Room, Hipwee, Klinik Digital Universitas Indonesia, ICT Watch, MAFINDO, dan Relawan TIK. Kegiatan tersebut diselenggarakan dengan tujuan agar masyarakat bisa menggunakan buku-buku Literasi Digital secara masif untuk pendidikan.
Buku-buku Literasi Digital yang telah diluncurkan, bisa diunduh secara bebas dan gratis melalui situs literasidigital.id.