Sampah Gelas Plastik Berpotensi Besar Polutan, Kenapa?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Selasa, 19 Juli 2022 | 16:45 WIB
Sampah Gelas Plastik Berpotensi Besar Polutan, Kenapa?
Sampah gelas plastik. (Dok: Elements Envanto)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sampah plastik masih menjadi tantangan yang dihadapi oleh Indonesia. Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun, di mana sebanyak 5 persen, atau 3,2 juta ton, adalah sampah plastik.

Dari angka fantastis 3,2 juta ton timbulan sampah plastik itu, produk air minum dalam kemasan (AMDK) bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen.

Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek adalah sampah AMDK gelas plastik. Secara kasat mata, selain volume timbulan sampah, air minum dalam kemasan plastik berukuran di bawah 1 liter terbukti sangat sulit untuk dikumpulkan, terlihat berceceran di mana-mana dan mengotori lingkungan.

“Plastik bukanlah musuh kita. Kalau ada kampanye mengatakan ‘Say No to Plastic’, itu adalah kampanye yang salah,” kata Firdaus Ali, pakar sumber daya air dan pendiri Indonesian Water Institute (WI) dalam keterangannya, Selasa, (19/7/2022).

Baca Juga: Keren! Video Viral Emak-emak Labrak Mobil Alphard yang Buang Sampah Sembarangan di Gerbang Tol

Sampah gelas plastik. (Dok: Elements Envanto)
Sampah gelas plastik. (Dok: Elements Envanto)

“Persoalannya baru timbul apabila plastik dibuang ke lingkungan dan berakhir di badan air, inilah yang menjadi musuh bersama. Jadi yang salah adalah tindakan-tindakan primitif kita, sehingga plastik jadi persoalan lingkungan.”

Timbulan sampah gelas plastik ukuran mini ini sangat berpotensi menjadi polutan. Karenanya, produsen didorong untuk memproduksi botol plastik yang lebih besar (size up).

“Kemasan yang kecil-kecil, khususnya yang dirancang sekali pakai dan tidak bisa diguna ulang, potensi jadi sampah atau polutannya sangat tinggi dibanding kemasan berukuran besar. Apalagi jenis plastiknya tidak bisa didaur ulang, maka sudah pasti jadi sampah karena tidak laku,” kata Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah , Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ujang Solihin Sidik, dalam webinar yang sama.

“Makanya kita dorong ukurannya diperbesar dalam konteks pengumpulan kembali (produk guna ulang). Dalam konteks industri daur ulang, ukuran itu menjadi penting.”

Sampah air minum dalam kemasan gelas plastik, termasuk penutup, sedotan, dan pembungkus sedotannya, terbukti menimbulkan persoalan besar bagi lingkungan, sebab tidak ada nilainya untuk didaur ulang.

Baca Juga: Sering Dianggap Remeh, Ini Sebab Gelas Plastik Jadi Salah Satu Sampah Paling Bermasalah

Ekonomi sirkular, seperti disinggung Ujang Solihin Sidik, dapat berkembang baik di Indonesia apabila sampah plastik bisa didaur ulang. Sayangnya, hal ini belum bisa dicapai karena timbulan sampah plastik yang ada belum cukup memadai, sehingga Indonesia justru mengimpor bahan baku sampah plastik untuk kebutuhan daur ulang.

Sebagai ilustrasi besarnya sampah plastik tak bernilai ekonomi yang berserak tanpa kontrol, bisa dilihat dari hasil brand audit yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat Sungai Watch di Bali, pada 2021. Sungai Watch mempublikasikan 10 besar perusahaan yang produk dan kemasannya paling mencemari Bali, di antaranya Danone Aqua, Wings Surya, Orang Tua Group, Santos Jaya Abadi, Unilever, Indofood, Mayora Indah, Coca-cola, Garuda Food, dan Siantar Top.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI