Pikiran secara alami membuat hubungan antar peristiwa, entah itu terhubung atau tidak.
"Otak memerhatikan bukti yang sesuai dengan teori kita dan mengabaikan bukti yang tidak sesuai," kata Wolley, dikutip dari Washington Post.
Selain itu, faktor imajinasi anak-anak juga bisa jadi yang disebut hantu sebenarnya adalah teman khayalan.
"Kita tahu bahwa antara sepertiga dan dua pertiga anak memiliki teman khayalan,” kata psikolog di Universitas Durham Charles Fernyhough.
Pada ilmu psikolog sebelumnya disebutkan bahwa bahwa anak-anak tidak dapat membedakan mana yang nyata dan tidak. Tetapi, penelitian Woolley membantah itu.
Menurutnya, anak-anak tahu sepenuhnya apa yang nyata, meskipun kelihatannya mereka tidak dapat membedakan itu.
Meski begitu terkadang anak-anak juga masih mencampuradukkan antara imajinasi dengan kenyataan sehingga memunculkan pengalaman seperti halusinasi.
Woolley menyarankan kepada orangtua untuk "terlibat dalam fantasi" saat anak-anak berkata melihat hantu.
"Terlibatlah dengan anak, tanyakan padanya apakah dia takut pada hantu atau apakah dia menyukainya dan apakah dia pernah melihatnya sebelumnya," saran Woolley.
Baca Juga: Raditya Dika Masak Mi Setengah Matang Endingnya Malah Bikin Geleng-Geleng Kepala
Selanjutnya, orangtua bebas untuk memandu anak dalam menyikapi hantu tersebut. Apakah mematahkan apa yang dilihat anak atau memvalidasinya dengan mengarahkan lewat lelucon.